Oleh Pius Rengka
Pikiran itu tidak punya rumah, karena dia selalu pergi mengunjungi ingatan, dan ingatan selalu punya sejarah entah silam, entah kini dan nanti. Dan semua jenis ingatan nyaris tak pernah mulai dari awal sejak awal pertama dia memulai.
Kita semua manusia, entah di mana pun itu mungkin berhuni, tak pernah meminta untuk dilahirkan di tempat mana dan di waktu kapan serta untuk etnik apa. Tetapi, kita lahir karena kita adalah satu ketul rentetan akibat dari perbuatan atau tindakan orang lain.
Siapakah atau apakah orang lain itu? Orang lain itu, memang lain, dan mereka selalu membawa serta kelainannya. Mencintai mereka dan juga mereka mencintai kita, terutama bukan lantaran kita ada persamaan dan disamakan atau menyamakan susbtansi, melainkan kita saling mencintai justru karena kita berbeda. Saya lain dan berhadapan dengan orang lain. Masing-masing kita membawa kelainan yang lain kemudian menjadi lain-lain.
Ingatlah, tak ada orang yang persis sama di dunia ini. You are unique. Bahkan Dale Carnigie mengatakan, remember there has no one like you in the world.
Mengingat ini semua, apakah perlu kita berseteru lantaran karena kita berbeda satu dengan lainnya? Bukankah berbeda itu keniscayaan terberi yang darinya kita tak pernah minta dan restu?
Pada mulanya dan pada sejarahannya, kita telah ada secara rohani, meski kita diadakan secara fisik sejak kita menjadi ada di dalam sebuah ruang yang ada. Ada yang kini adalah ada kesadaran, tetapi ada yang sesungguhnya adalah ada dalam ketakterbatasan.
Maka mati dalam kehidupan adalah hidup dalam kematian. Begitulah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H