20 Mei 1908 Boedi Oetomo berdiri sebagai simbol bangkitnya rasa dan semangat persatuan, kesatuan dan Nasionalisme untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.  Dua puluh tahun kemudian tepatnya 28 Oktober 1928 para pemuda (PPPI, Jong Java, Jong Soemateranen, Jong Bataks, Jong Islamieten, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon dan Pemoeda Kaoem Betawi)  mengucapkan sumpah setia; bertumpah darah satu Tanah Indonesia, berbangsa satu Bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Pada hari itu pula lagu Indonesia Raya diperdengarkan. 1 Juni 1945  Pancasila lahir sebagai dasar negara. Pancasila adalah ideologi yang paling sesuai dengan keadaan Indonesia.  ‘Di atas dasar Pancasila itulah negara Indonesia didirikan, kekal dan abadi’ kata Bung Karno. 17 Agustus 1945 didampingi Mohammad Hatta, Bung Karno dengan suara menggelegar membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Pengangsaan Timur Jakarta. Sehari kemudian tepatnya 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta disahkan  menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah mengubah istilah ‘Muqadimah’ menjadi ‘Pembukaan’ dan ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk – pemeluknya’ menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ atas usulan AA Maramis dengan pertimbangan kesatuan Nusantara. Sejarah perintisan dan persiapan kemerdekaan setiap aspirasi selalu dihargai meski dari golongan terkecil sekali pun. Â
Tanggal 17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 terjadi perang besar – besaran untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan melawan Belanda dan sekutu - sekutunya. Selama masa itu sekitar  45,000 hingga 100,000 pejuang tewas, demikian pula rakyat sipil antara 25,000  hingga 100,000 meregang nyawa. Setelah kemerdekaan direbut kembali bangsa yang baru seumur jagung itu justru berhadapan dengan pergolakan sosial - pemberontakan dalam negeri yang dimotori oleh Komunis dan DI/TII yang selanjutnya diikuti pergolakan lokal dan sektarian hingga kini. Meski dirongrong oleh prahara dalam negeri yang menyedot banyak tenaga NKRI tetap berdiri kokoh di bawah panji Sangsaka Merah Putih, Pancasila dan UUD 1945.
11 Maret 1966 adalah masa berarkhirnya Pemerintahan Soekarno – Orde Lama dan berpindah kepada Presiden Soeharto yang lazim disebut Orde Baru. Pada masa ini perekonomian Indonesia berkembang pesat, bersamaan dengan itu korupsi merajalela.  Akibatnya rakyat marah tak terbendung hingga bergulir gerakan massa secara Nasional yang lazim disebut Reformasi 1998. Era Orde Baru tumbang dan berganti  era reformasi. Indonesia berevolusi dari era satu ke era yang lain dan tak sedikit darah yang tercurah di antara era itu. Darah yang sangat mahal. Tetapi perilaku korup tetap tak terbendung.
Kini pergolakan itu terus terjadi, setiap anak bangsa mendorong dan memperjuangkan setiap hal yang dianggap paling cocok untuk kemajuan Indonesia. Diperjuangkan melalui panggung – panggung politik, media maestream, mimbar – mimbar keagamaan, gerakan sosial, tatanan ekonomi, budaya dan lain – lain. Karena berangkat dari titik, kutub dan pemahaman yang berbeda, tak sedikit dari perjuangan – perjuangan yang mulia itu menimbulkan gesekan – gesekan yang berujung pada diskriminasi dan pertumpahan darah. Sementara negara dianggap tidak hadir dengan baik mengayomi rakyatnya yang hak dan kewajibannya dijamin oleh konstitusi. Seringkali atas nama kepentingan dan ketertiban umum kebenaran dibalikkan menindas yang lemah dan minoritas. Tak sedikit pula para pengadil tamak, memperdagangkan keadilan dengan makan suap. Akibatnya pergolakan terus terjadi, seperti bom waktu yang bisa meletup sewaktu – waktu. Selain itu di masyarakat ada perilaku – perilaku indoktrinisasi membangun permusuhan sesama anak bangsa. Tak jarang pula dipicu dan dimotori oleh para tokoh yang berpengaruh. Semakin lama benih itu semakin menyebar dan semakin sulit dikendalikan.
Meski demikian, setiap perjuangan yang terkecil sekali pun dari rakyat Indonesia perlu diapresiasi dan diberi ruang tetapi harus memperhatikan dan menempatkan kemanusiaan sebagai hal yang utama. Â Kita bermimpi perjuangan apa pun menempatkan nyawa manusia sebagai hal yang paling berharga, melebihi kekuasaan dan uang.
Karena itu sebagai anak bangsa yang lahir dan ari – arinya ditanam di bumi Indonesia, yang minum dari susu perempuan desa yang buta huruf, yang makan dan minum dari tanah Indonesia, yang lahir di pegunungan tetapi besar di dataran rendah Sulawesi dan mencari nafkah di tanah Jawa, yang memiliki Om, Tante dan adik perempuan yang muslim, yang harus menjadi ‘babu’ untuk memperoleh pendidikan yang layak dan yang terus berusaha mencintai bangsa ini dengan segala keberagamannya. Saya bermimpi Indonesia akan tetap Indonesia menurut Indonesia.
Sebagai anak Indonesia yang hidup mencintai keberagaman saya bermimpi, suatu saat anak cucu saya tak akan berlari menangis kepelukan ibunya karena dijauhi dan dihina teman – temannya karena agamanya berbeda. Saya bermimpi di bangsa ini anak cucu saya tak akan dinilai berdasarkan atribut – atribut agama yang dipakainya.  Saya bermimpi anak cucu saya tak lagi mendapat tawaran mengubah agamanya jika ingin menempati posisi – posisi penting di negeri ini. Saya bermimpi, anak – anak  negeri dari Sabang sampai Merauke dari Miangas hingga Pulau Rote tak lagi dicibir karena warna kulit, jenis rambut  dan agamanya. Saya bermimpi setiap anak bangsa di negeri ini bebas mengeskpresikan cintanya kepada Tuhannya tanpa dihantui rasa takut untuk dibubarkan dan dianiaya. Saya bermimpi Indonesia menyembah Tuhannya dengan budaya dan kearifannya sendiri, tak jadi orang Arab, Yahudi atau pun India. Saya bermimpi ‘singa’ dan ‘domba’ akan duduk damai dan saling bercium-ciuman.
Sebagai anak Indonesia yang cinta keadilan dan Kebenaran saya bermimpi, para penegak hukum; hakim, jaksa, pengacara dan polisi suatu saat akan muak dengan suap. Saya bermimpi orang – orang benar yang bekerja untuk rakyat akan dimuliakan di negeri ini. Saya bermimpi sumpah jabatan atas nama Tuhan tak sekedar pemanis bibir di intansi – instansi pemerintahan tetapi korupsi tetap meraja lelah. Saya bermimpi agama tak dijadikan senjata untuk menghancurkan orang lain tetapi alat damai untuk kemanusiaan. Saya bermimpi siapa pun dibangsa ini akan bangga dengan kebenaran dan muak dengan kejahatan. Saya bermimpi rakyat Indonesia tak hanya bibirnya yang beragama tetapi perbuatannya juga. Saya bermimpi anak – anak kota dan anak – anak desa akan memiliki akses dan fasilitas yang sama dalam memperoleh hak – hak mereka. Saya bermimpi kejujuran dan kesetiaan akan menjadi ciri khas anak – anak Indonesia. Saya bermimpi kekayaan alam Indonesia tak tertumpuk pada segelintir orang tetapi digunakan sebaik – baikknya untuk kesejahteraan rakyat. Saya bermimpi siapa pun di bangsa ini akan malu mengambil dan memakai yang bukan haknya. Saya bermimpi perempuan dan anak – anak berjalan ke mana saja akan merasa tenang dan aman. Saya bermimpi tak ada lagi yang akan duduk meminta – minta di pinggir – pinggir jalan atau tempat - tempat keramaian.
Sebagai anak Indonesia yang punya minat besar untuk politik bermimpi, politik di negeri ini tidak dijadikan sebagai alat memperoleh kekuasaan dan kekayaan tetapi dijadikan alat untuk melayani rakyat. Saya bermimpi politisi – politisi di negeri ini tak hanya gaduh berebut ‘roti’ tetapi lemah syahwat melayani rakyat. Saya bermimpi, tak ada lagi anak – anak Indonesia yang tertunduk malu dan kehilangan kasih sayang karena orang tua mereka mendekam dipenjara karena korupsi. Saya bermimpi  panggung politik di negeri ini tidak dijadikan sebagai panggung pamer kekuatan dan kekuasaan. Saya bermimpi para politisi di negeri ini  tak lagi menjadikan Agama dan Ras sebagai senjata di panggung politik untuk memperoleh kekuasaan. Saya bermimpi pemimpin beragama Islam akan diterima dengan baik di daerah yang mayoritas Kristen dan pemimpin Kristen akan diterima dengan baik di daerah yang mayoritas Islam demikian dengan Konghucu, Budha, Hindu dan Aliran Kepercayaan. Saya bermimpi, Indonesia damai dalam harmoni tanpa mempersoalkan Agama, Suku dan Ras dalam ikatan Bhineka Tunggal Ika. Saya bermimpi lembah kerendahan diri akan ditimbun, gunung – gunung kesombongan akan ditimbun dan jalan – jalan keadilan yang berkelok akan diluruskan dan semua orang akan kembali ke jalan yang benar.
Sebagai anak Indonesia yang sadar akan keberagaman bermimpi, semangat dan Nasionalisme 1908 dan Sumpah Setia 1928 akan tetap terjaga dibawa panji Sangsaka Merah Putih berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selamat Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dan 20 Mei 2017. Merdeka dalam Persatuan.
Piter Randan Bua (Rakyat Jelata yang Terus Bermimpi)