Dua hari terakhir saya berkesempatan jalan-jalan ke kota Bima, Sumbawa. Sebuah wilayah yang kondisi tanahnya banyak area tandus. Apalagi di musim penghujan yang belum juga menyentuh daerah tersebut.Â
Beberapa daerah mengalami hujan terakhir pada bulan Maret 2018 lalu. Kondisi ini beda dengan wilayah pulau lain, semisal di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa yang wilayahnya hampir mayoritas subur.
Dalam sebuah acara yang saya ikuti kemarin, sempat ada sedikit cerita yang menurutku cukup menarik. Di mana saat salah satu BUMN mengajukan permintaan lahan kepada Pemda dan kepada masyarakat desa, untuk membangun fasilitas umum untuk membangun sarana pendukung komunikasi demi menyukseskan program NAWACITA dari pemerintah, pengajuan lahan seluas 2 Are (200 meter persegi) pun direspon oleh pemuka wilayah setempat dengan memberikan lahan seluas 2 Ha kurang sedikit.Â
Ini bukti begitu antusiasnya masyarakat memberikan respon positif kepada program pemerintah.
Beda kejadian dengan di Bima, di Lampung justru masyarakat berebut tanah, terutama di wilayah Tanjung Karang. Hal ini terjadi karena ada provokasi dari salah satu tokoh masyarakat yang sedang maju sebagai Caleg DPD, mencoba membodohi masyarakat dengan memberikan harapan kepada masyarakat yang sedang menempati Tanah Pemerintah, untuk melakukan pengakuan / mensertifikatkan lahan tersebut.
Ini sebuah kejadian yang konyol, di mana di Bima, Sumbawa masyarakat justru memberikan tanahnya untuk kepentingan pemerintah, sedangkan di Tanjung Karang, Lampung masyarakat diprovokasi untuk menempati dan mengakuisisi Tanah Pemerintah.
Dua hal yang cukup menarik, di sini saya lihat hal yang bertolak belakang. Kejadian di Kelurahan Campa, Kecamatan Mada Pangga, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara ini saya dapat langsung dari yang bersangkutan. Di mana Haji Mansyur sebagai Kepala Desa Campa memberikan lahannya seluas 2 hektar dipakai untuk kepentingan pemerintah. Apa yang dilakukan Haji Mansyur ini cukup mulia, karena Dia tidak ada embel-embel ingin terkenal atau cari muka. Tetapi karena ingin masyarakatnya mendapatkan fasilitas umum yang lebih baik.
Sedangkan di Lampung, tindakan yang dilakukan seorang tokoh bernama Andi Surya sangat tidak mulia. Karena kepentingan pribadinya maju jadi DPD di 2019, Dia mencoba mencari dukungan suara dari warga yang kurang paham soal hukum dengan iming-iming bisa memiliki lahan pemerintah yang mereka tempati secara gratis selama ini.
Menengok perjalanan Andi Surya dalam persoalan ini, kita dapat melihat ketidaktahuan Andi Surya perihal persoalan yang Dia bawa kepada masyarakat dan media massa. Pada awalnya Dia mengatakan bahwa lahan yang ditempati masyarakat Tanjung Karang di daerah yang berpolemik tersebut pihak pemerintah dalam hal ini diwakili oleh PT KAI selaku BUMN dianggap tidak mempunyai bukti kepemilikan yang sah. Bukti kepemilikan dalam bentuk Grondkaart dan dokumen penunjang lainnya tersebut sejak awal dianggap tidak asli, karena Andi Surya tidak pernah melihatnya.Â
Dalam puluhan berita yang mudah kita temukan di online, Andi Surya selalu menyerang bahwa PT KAI tidak mempunyai bukti asli dari Grondkaart. Hampir setahun Dia bersikukuh dengan pendapat itu, seiring berjalannya waktu akhirnya Dia tahu bahwa bukti kepemilikan tersebut memang valid adanya dan tersimpan baik di kantor PT KAI.
Kepanikan Andi Surya menjadi semakin terlihat, karena Pemilihan Legislatif 2019 sudah mendekati hari H, sedangkan Dia belum bisa membuktikan janjinya kepada masyarakat yang coba Dia curi hatinya untuk bisa memiliki gratis tanah yang tidak pernah mereka beli atau tidak pernah mereka miliki.