Mohon tunggu...
Pitutur
Pitutur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mencoba BERMANFAAT dengan MENULIS. Mencoba menuliskan sebuah peristiwa dari sudut pandang yang berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bersikap Ramah tapi Menjarah Tanah

10 Februari 2018   09:11 Diperbarui: 11 Februari 2018   17:49 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal yang mungkin tidak kita sadari adalah, sejak saat itu kita juga masih menggunakan hukum peninggalan Belanda dalam tata hukum di Indonesia, dan itu sampai sekarang.

Kembali kita membahas soal pertanahan, hukum pertanahan yang kita pakai sekarang adalah hukum yang dipakai sejak zaman Kolonial Belanda. Tetapi seringkali kita menemukan kasus pertanahan yang oleh beberapa pihak yang dijadikan panggung, dan mereka tidak mengakui tanah tersebut adalah Tanah Pemerintah (Gouvernement Grond) yang diserah termakan kepada Pemerintah Indonesia. Secara administrasi tanah pemerintah tersebut sebagian besar dibuktikan dengan sebuah grondkaart dan manuskrip sebagai bukti kepemilikannya. Bukan dalam bentuk sebuah omonggan lisan, apalagi dengan batas tanah sungai dan pohon (seperti yang dilakukan kakek-nenek kita).

Bila kita mengakui dan masih memakai hukum yang ditinggalkan Kolonial Belanda, seharusnya kita juga mengakui sistem administrasi yang ditinggalkan oleh mereka. Artinya, kita tidak boleh munafik dengan berpura-pura bodoh tidak mengakui administrasi Kolonial Belanda, tetapi kita menggunakan Hukum peninggalan mereka.

Beberapa kejadian di Pulau Jawa dan Sumatera adalah banyaknya pihak yang dengan santun dan ramah, mencoba menjarah tanah pemerintah. Di sini saya tulis tanah pemerintah, karena memang sudah dimanfaatkan dan sudah pernah dilakukan pemetaan oleh pemerintah. Perlu kita pahami, mayoritas tanah pemerintah sekarang adalah hasil dari pemetaan zaman Kolonial Belanda, sebagian besar dilakukan pengukuran ulang dan sertifikasi, dan prosesnya tidak bisa instan, hal ini terbukti Joko Widodo mengingatkan bahwa ada puluhan juta tanah di negeri ini yang belum disertifikatkan.

Bila kita melihat Kota Jakarta, melewati jalan-jalan besar, dan melihat bangunan-bangunan zaman Koloniaal Belanda, semua diadministrasikan dalam bentuk grondkaart dan manuskrip yang menyertainya. Sistem pengarsipan Belanda sangat mudah dipelajari, dan bisa kita terima dengan akal sehat. Kita bisa melihat pemetaan yang jelas Batavia di zaman dulu.

Sering kali terjadi salah kaprah dalam memahami antara kaart(peta) dengan grondkaart saat kita melihat sebuah dokumen zaman Kolonial Belanda. Saya yakin kita dengan mudah bisa menemukan peta (kaart) sejarah negara ini. Seperti contoh di bawah ini. Ini adalah contoh peta benteng di Jakarta (Batavia) tahun 1667. Di mana di bagian kanan dan bawah mereka cantumkan secara detail bagian per bagiannya. Peta ini cenderung difungsikan untuk kepentingan militer waktu itu.

Contoh peta benteng di Batavia, dengan pada bagian kanan terdapat penjelasan (keterangan peta) masing-masing apa yang tampak dalam peta tersebut.
Contoh peta benteng di Batavia, dengan pada bagian kanan terdapat penjelasan (keterangan peta) masing-masing apa yang tampak dalam peta tersebut.
Beda lagi dengan grondkaart, yaitu sebuah peta bukti kepemilikan tanah, yang waktu itu dibuat berdasarkan keputusan banyak pihak. Saya sebut banyak pihak karena sebuah dalam membuat sebuah grondkaart, selalu didasari oleh Surat Keputusan oleh Kepala Pemerintahan zaman itu (besluit van gouverneur generaal). Juga diubah atau direvisi dengan Surat Ketetapan (beschikking) pejabat yang berwenang setingkat direktur dalam birokrasi pemerintahan kolonial (Kepala Departemen). Juga harus disetujui oleh wakil dari Kadaster (BPN era kolonial) yaitu juru ukur tanah (landmeter). Beberapa grondkaart sering dilengkapi dengan bukti pengalihan hak dari pemilik lama jika sebelumnya dikuasai/diokupasi oleh pihak lain dan dialihkan statusnya menjadi tanah pemerintah atau tanah negara.

Kita sangat sulit menemukan sebuah grondkaart meskipuin sekadar fotonya beredar di-google secara utuh, karena sebuah grondkaart ibaratnya sebuah surat tanah saat ini, sangat penting dan bernilai keberadaannya.

Grondkaart kebanyakan disimpan oleh pemerintah, baik pemerintah (negara) secara langsung, atau BUMN sebagai pihak yang dipercaya pemerintah untuk mengelola asetnya. Beberapa BUMN yang saya yakin akan menyimpan dengan sangat baik grondkaart dan manuskiripnya adalah BUMN yang menggunakan lahan-lahan peninggalan zaman Koloniaal Belanda. Beberapa di antaranya adalah PTPN (Perkebunan Nusantara), PT KAI (Kereta Api Indonesia), PT PLN (Perusahaan Listrik Negara), Pelindo (Pelabuhan Indonesia), PT Angkasa Pura, dan BUMN lain yang memanfaatkan lahan sangat luas.

Cobalah Anda membuka google, lalu ketik kalimat tanah grondkaart, atau sengketa grondkaart. Kita akan menemui beberapa kasus, baik proses hukum maupun sekedar sebuah makalah.

Secara logika coba kita berpikir, sebuah grondkaart dibuat sebagai bukti kepemilikan Tanah Pemerintah di era Kolonial Belanda, setelah kemerdekaan, terjadi proses serah terima melalui Konferensi Meja Bundar. Dalam kalimat sederhana berarti 'tanah Pemerintah Kolonial Belanda berubah menjadi Tanah Pemerindah Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun