Mungkin pembaca masih ingat kejadian bulan Desember tahun 2009 bertepatan saat perayaan Natal, ketika seorang warga negara Ethiopia yang diduga teroris mencoba meledakkan sebuah pesawat penerbangan domestik AS, Northwest Airlines dengan nomor penerbangan 253. Dengan bahan peledak plastik yang dijahit ke celana dalamnya ia lolos dari deteksi keamanan bandara namun berhasil ditangkap sebelum ia meledakkan pesawat tersebut.
Insiden ini mengagetkan TSA (Transportation Security Administration) AS dan sejak saat itu sistim pengamanan seluruh bandara di Amerika diperketat dengan berbagai langkah dan prosedur pengamanan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah penggunaan alat yang dikenal dengan full body scanner.
Full body scanner adalah sebuah alat pemindai yang bisa menembus lapis pakaian seseorang, memetakan bagian tubuh dengan akurat, serta bisa mendeteksi senjata non-logam & bahan peledak pada permukaan tubuh yang terlindungi oleh pakaian. Cara kerja alat ini sangat cepat dan hanya membutuhkan waktu antara 15 dan 30 detik untuk mendeteksi seseorang. Orang yang hendak diperiksa terlebih dahulu memasuki bilik kecil dan disuruh angkat tangan, kemudian gelombang radio akan mendeteksi tubuh dari segala penjuru. Alat ini segera mengirim gambar 3-D berupa bentuk tubuh tanpa pakaian di layar monitor. Dengan demikian operator bisa mengetahui benda tersembunyi yang melekat pada tubuh “telanjang” tersebut.
Alat pemindai ini sudah dilakukan di beberapa bandara dunia yang bertujuan menghindari seorang penumpang membawa bahan peledak non logam, narkotika, atau apa saja yang bisa membahayakan penerbangan.
Amerika Serikat adalah negara yang pertama sekali menggunakan alat ini dan terdapat sekitar 40 alat pemindai yang tersebar di 19 bandara yang berbeda. Diperkirakan pada tahun 2011 ini akan digunakan lebih dari 1200 scanner yang akan ditempatkan di stasiun kereta, subway dan gedung pengadilan. Belanda dan Nigeria juga sudah menggunakan mesin ini di berbagai bandara yang dianggap berpotensi munculnya aksi terorisme. Demikian dengan Italia, mereka juga telah merencanakan memasang alat ini di semua stasiun kereta api dan bandaranya.
Namun demikian, walau alat ini merupakan salah satu cara ampuh mencegah aksi yang merugikan dunia penerbangan dan diklaim tidak menyimpan gambar-gambar hasil scan, penggunaan full body scanner justru memicu kontroversi.
Menurut jajak pendapat online oleh The Consumerist situs pada November 2010 terhadap 11.817 orang, 59,41% mengatakan mereka tidak akan terbang akibat penggunaan alat ini. Juga jajak pendapat oleh MSNBC terhadap 8.500 pembaca secara online, menunjukkan 84,1% percaya bahwa prosedur baru tidak akan meningkatkan keamanan perjalanan.
Alasan utama munculnya kontroversi ini adalah karena dianggap mengganggu privasi seseorang yang tidak rela seluruh tubuhnya digeledah dan disaksikan orang lain melalui layar komputer. Mereka khawatir foto-foto yang direkam akan disalahgunakan terutama kaum selebritis, perempuan, dan anak-anak. Aksi penolakan pun semakin besar ketika tanggal 16 November 2010, 100 dari 35.000 gambar yang disimpan oleh scanner bocor di internet. Alasan lain untuk menolak alat ini adalah kekhawatiran efek radiasi sinar X (X-Ray) yang ditimbulkannya ketika seseorang dideteksi.
Salah seorang tokoh yang tidak setuju dengan alat pemindai ini adalah pemimpin religius Katolik, Paus Benedict XVI.
Di Indonesia sendiri alat pemindai ini telah ada sejak tahun 2008 yang bermerek ProVision buatan pabrikan L3 Security & Detection System, Amerika Serikat. Tetapi belum digunakan hingga saat ini karena pemakaiannya belum diatur akibat banyaknya kontroversi di berbagai pihak, antara lain Majelis Ulama Indonesia yang mengatakan pemakaian alat ini melanggar hak azasi manusia dan norma-norma agama.
Bagaimana dengan Anda, setuju atau tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H