Terhitung sejak kemarin kodisi rumahku semakin tidak kondusif
Bermula dari kedatangan segerombol rayap pemangku mesiu
Mereka terus menggerogoti dinding ini
Tak tercukupkan hanya itu
Kini desisnyapun semakin mengusik hati
Hingga terbitkan kegelisahan para penghuninya
Senandung pilu sang Ibu pertiwi
Terngiang jelas di setiap malamku
Ingin hati menenangkannya
Namun apa daya kuasa tak beri kesempatan untuk itu
Asaku mulai membara menyaksikan panorama ini
Bahkan tak jarang pula ragaku berontak
Dan terus memanggil untuk pergi
Pagi ini aku mulai menyusuri jejak peninggalan ox
Di tengah perbatasan, cendana itu menghadang gerakku
Semula aku tak ingin peduli dan hendak terus berlari
Namun bersegera dia melambaikan tangannya
Hingga hadirkan alunan syahdu yang membelenggu langkahku kini
Sejenak aku terpaku, teringat akan sesosok dari masa lampau
Ketika itu dia tersenyum dan berkata
"Apa yang dicari hingga tak kau hiraukan pedihku ini?"
"Apa yang kau kejar hingga rela menjauhi jati diri?"
"Tengoklah samping kanan dan kiri, bukankah telah melimpah kecukupan tersedia ? "
Dahulu dia patahkan baja dengan bambu hingga si biru itu kocar-kacir
Dikala dia menjadi delegasi ke seberang pulau
Mereka tunduk dan hormati bayangannya
Bahkan di setiap kali dia berlayar
Selalu saja ditemukan riuh sanjung di dermaga
Hendaklah pikirkan kembali
Hendaklah kajikan lagi
Sebelum engkau benar-benar luput dalam buaian para pelancong
Sumedang, 06/03/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H