*catatan: karakter dan tempat dalam kisah ini fiktif belaka* Anil berjalan cepat. Tangan kanannya menggenggam device andalannya, sebuah ponsel cerdas berbasis Android. Sesekali ia mengangkat ponsel itu untuk melihat jam. “Duh, aku terlambat. Mudah-mudahan Dira masih menungguku.” Wajahnya terlihat panik. Sambil berjalan, kedua tangannya menggenggam ponsel berwarna hitam itu. Ia menjejalahi layarnya sambil sesekali menatap arah ia berjalan. Layar berukuran 3,5 inci membuat kedua jempolnya leluasa menjelajah menu-menunya. Anil membuka aplikasi Twidroid. Kehidupan Anil yang eksis di ranah virtual tak bisa membuatnya lepas dari Twitter, meski dalam kondisi sepanik apapun. Ia mengecek mention tentang dirinya. “Hmm, tak ada yang penting.” Anil lalu mengaktifkan keyboard virtual di layar ponselnya. Kedua jempolnya sejenak bertumpu di logo Acer yang berada di atasnya, lalu mengetikkan pesan cepat di atas layarnya yang jernih. “@dirakiyutz tunggu aku ya, aku OTW nih, 5 menit lagi sampai.” Tweet pun terkirim. Anil lalu memasukkan ponsel kembali ke kantungnya dan melanjutkan langkahnya, hingga ia sampai ke Courtwalk Plaza, sebuah tempat hangout terbuka dengan banyak kafe dengan harga bersahabat di sekitarnya. Melodi indah terdengar dari kantungnya. Anil melirik ke dalam kantung, dan melihat di sisi atas ponsel, ikon SMS terlihat berkelap-kelip. Ia mengangkat ponselnya, dan terlihat wajah Dira di layar, wajah yang sama dengan avatar Dira di Facebook-nya. Anil dengan sigap membaca SMS. “Eiy, cepetan ya. Aku sudah bosan nih. Btw, sempet-sempetnya ya ngetweet. Aku di Oblada Kafe, lantai dua.” “Hmm, di mana sih Oblada Kafe? Katanya di dekat-dekat sini,” Anil bergumam. “Oh iya, Foursquare!” Anil membuka aplikasi Foursquare di ponsel Acer-nya, lalu melihat venue terdekat yang saat itu muncul di layar. Ia menemukan Oblada Kafe dan mengkliknya. Sejenak ia memperhatikan peta Google Maps yang terpampang di aplikasi itu. “Oh, gedung yang itu,” tatap Anil ke arah bangunan klasik kolonial di sisi baratnya. “Sekalian saja lah, check-in,” ujar Anil lalu melanjutkan langkahnya ke arah barat. Setelah memasuki bangunan antik ini, Anil dengan mudah menemukan Oblada Kafe di dalamnya. Di dalam, mata Anil menyusuri para pengunjung, mencari wajah manis yang familiar. Seketika dari belakang terlihat tangan melambai-lambai. Anil pun tersenyum. “Hai Dira, kamu tampak manis sore ini,” ujar Anil tesenyum. “Huh, dan kamu tampak terlambat lagi, seperti biasanya,” Dira tampak merengut. “Maaf, busku terlambat tadi. Aku hibur dengan permainan gita ya, biar kamu nggak cemberut...” “Gitar? Sejak kapan kamu main gitar? Terus mau pinjam gitar ke siapa?” Dira semakin kesal. Anil cuma tersenyum. Ia mengeluarkan ponsel Acer-nya, mencari aplikasi Solo Lite yang ia unduh sebelumnya dari Google Market selama perjalanan di dalam bus. Gambar senar-senar gitar pun muncul. Jari-jarinya lalu bermain di atas layar ponsel. Seperti layaknya bermain gitar, jari-jari Anil menjelajahi setiap senar virtual, dan petikan senar jernih pun keluar dari ponsel. “Eh, kamu punya mainan baru ya? Itu ip...” tanya Dira yang terlihat mulai penasaran. “Bukan.. ini bukan produk bergambar jeruk itu,” potong Anil. “Ini Acer Liquid E, ponsel cerdas berbasis Android, yang keluaran Google itu. Aku sempat mengunduh banyak aplikasi gratis menarik dari Google Market. Salah satunya ini, Solo Lite.” “Ya sudah, katanya kamu mau main gitar. Tunjukkan dong...” Dalam hati Anil tahu, meski di permukaan Dira terlihat cemberut, tapi hatinya akan mudah lunak bila Dira melihat sesuatu yang ia suka. Anil pun tahu kalau Dira adalah seorang penggemar gadget. Segala hal yang lucu dan menarik tentang gadget tak akan pernah luput dari perhatiannya. Anil menaruh ponsel Acer Liquid E di atas meja. Jari-jarinya mulai bermain asal. Ia menyanyikan lagu “Cinta” dengan petikan asal-asalan. Ekspresi Anil yang jenaka lama-kelamaan meluluhkan Dira, hingga ia tak kuasa menahan tawa. “Ampun, kamu mbok ya kalau nggak bisa nyanyi dan main gitar ya nggak usah maksa,” ujar Dira sembari tertawa. “Eh biarin dong. Yang penting aku sudah merasa senang melihat kamu tertawa seperti itu. Kamu manis loh kalau tertawa terus.” Dira tersenyum cepat, lalu mencoba mengalihkan perhatian, “Sini, aku coba-coba dong Acer-nya.” Anil meminjamkan ponselnya ke Dira. Ia lalu menceritakan beberapa aplikasi menarik yang telah ia install sebelumnya. “Ini ada Twidroid untuk Twitter. Ada pula aplikasi Facebook. Dua aplikasi ini sudah langsung terinstal saat aku membeli ponsel. Eh, Dira, cobain aplikasi FartDroid deh.” “Hmm, dari namanya pasti jorok deh. Coba ya?” Dira pun penasaran. Setelah mencoba, Dira pun langsung tertawa saat mencoba FartDroid. Isinya adalah koleksi bunyi kentut dalam beragam versi. “Kalau mau, ini ada timer-nya loh. Jadi kita bisa isengin orang. Taruh ponsel di dekatnya, lalu setelah melewati hitungan mundur, bunyi kentut akan muncul. Hihihi, atau mau kita coba saja ya sekarang?” “Anil, ngawur kamu.. Terus, terus, ada apa lagi?” Dira masih penasaran. “Ini ada aplikasi Layar. Kita bisa melihat dalam sudut pandang 3D, lokasi terdekat halte busway misalnya. Kita tinggal mengarahkan ponsel, lalu akan muncul ikon dan jarak ke halte busway.” “Keren sih, tapi memang sudah ada tuh yang buat direktorinya untuk Jakarta di Layar?” “Jangan salah. Ada nih, namanya Menggenggam Jakarta, buatan lokal. Hihi, belum sempurna sih, tapi lumayan lah,” jawab Anil. “Prinsipnya sih, kebanyakan aplikasi ini gratis, dan kita bisa unduh sesuka hati dari Google Market. Kalau ada teman kamu yang mau bikin aplikasi mobile, belajar deh Android. Potensinya besar loh di masa depan.” “Huh, kamu kok tiba-tiba jadi peramal. Kamu jadi Papa Lauren sekarang?” Dira mengernyitkan dahi. “Haha, nggak lah, aku cuma melihat potensinya saja.” Dira melihat jam, “Sudah jam setengah delapan nih. Berangkat yuk, ntar kita telat lagi.” “Baiklah. Ayo kita cabut!” Anil menyahut. Anil dan Dira pun berjalan ke luar Oblada Kafe. Tiba-tiba ruangan gelap. Listrik mati. Semua orang di kafe terdengar mengeluh. “Huuu...” “Mbok ya kalau listrik mati, pas kita sudah di luar kafe gitu. Sekarang kan kita keluarnya jadi susah,” keluh Dira. “Tenang dong,” sahut Anil. “Ada aplikasi keren yang bermanfaat nih. Namanya Color Flashlight, alias senter.” Layar Acer Liquid E pun menyala putih terang. Anil pun membimbing Dira berjalan ke luar ruangan. *Tulisan ini untuk dikompetisikan dalam Kontes Blog Liquid E*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H