Mohon tunggu...
Pitoyo Amrih
Pitoyo Amrih Mohon Tunggu... profesional -

Memberdayakan diri dan keluarga,.. dengan membawa nilai-nilai kearifan budaya sendiri, .. adalah sebuah pondasi dalam upaya membangun karakter bangsa Indonesia yang berdaya, mandiri, dan bermartabat di mata dunia... Profile saya: http://profil.pitoyo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menemukan Yudhistira Pada Mandela

11 Desember 2013   13:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:03 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memetakan karakter dan membuatnya agar bisa selalu konsisten bisa dideskripsikan dalam sebuah novel, bagi saya memang tak mudah. Dan saya sadar bahwa sejak awal saya menulis novel yang didalamnya bisa melibatkan ratusan karakter, bagaimana pun, saya harus bisa mencari cara agar setiap karakter itu tetap bisa konsisten unik dalam pengungkapannya. Karena karakter dalam sebuah novel harus merupakan perwujudan dari bagaimana sosok satu tokoh itu memilih kata-kata dalam dialognya, bagaimana suatu tokoh bersikap atas sebuah kejadian atau keadaan, bagaimana saya harus menggambarkan bahasa tubuh sang tokoh itu.

Salah satu rahasia dapur yang banyak para novelis lakukan adalah dengan membuat pemetaan setiap tokoh karakter dengan sosok padanan yang mudah di-recall dalam ingatan, sejenak kemudian memanggil penghayatannya, dan memvisualisasikan dalam imajinasi kira-kira apa yang akan dilakukan sang sosok padanan bila saya simulasikan berada dalam situasi jalinan plot cerita novel saya, dan kemudian menuangkannya dalam tulisan. Yang muncul kemudian bisa sebuah kalimat dialog, penggambaran bahasa tubuh, deskripsi roman muka wajah.

Sosok padanan itu bisa siapa saja. Apakah itu sosok orang disekitar kita, sehingga kita selain berimajinasi, mungkin juga bisa melakukan ekperimen kecil untuk berinteraksi dengannya tanpa dia harus tahu agar bisa natural mewakili karakternya. Seperti misal kita punya tokoh A dalam dunia novel rekaan yang dibuat, kemudian kita buat pendekatan karakter sosok padanannya, kebetulan adalah salah satu tetangga rumah. Dalam plot cerita itu digambarkan tokoh A mengalami situasi yang membuatnya kecewa, kita bisa semisal melakukan wawancara kecil sekedar basa-basi dengan sang tetangga mencoba menggali apa kira-kira yang dilakukannya bila dia kecewa. Pilihan-pilihan sikap jawabannya bisa menjadi pengkayaan dalam respon sang tokoh A di novel yang dibuat, sehingga karakter tokoh A tetap akan konsisten.

Atau sosok padanan itu bisa juga tokoh dalam film. Cara ini bagi saya adalah yang paling mudah, tinggal luangkan waktu sewa DVD, kemudian lakukan pengamatan. Untuk cara ini biasanya saya harus menciptakan sosok padanan lebih dari satu karakter film. Karena bisa jadi penggambaran sebuah film tidak selalu utuh memperlihatkan satu karakter. Hanya pendekatan ini mensyaratkan bahwa karakter yang dipilih harus memang diperankan oleh aktor aktris yang baik. Dan asiknya pendekatan ini, saya bisa setiap kali me-rewind berulang-ulang adegan atau dialog tertentu yang bisa dengan kental memperlihatkan karakter sang tokoh. Saya masih ingat beberapa tahun lalu, bagaimana saya harus berkali-kali memperhatikan seksama setiap scene sosok Achilles yang diperankan Brad Pitt dalam film “Troy” sebagai salah satu dari beberapa gambaran sosok padanan karakter Jayadrata dalam novel saya. Jayadrata yang saya gambarkan sebenarnya memiliki karakter baik, tapi hitam-putih pemikiran lugunya, membuat dia terjebak dalam pilihan untuk membela si buruk.

Yang paling sulit ketika saya harus menemukan padanan sosok itu pada seorang public figure yang berada jauh di sana. Saya hanya bisa menggapainya dari berita-berita di media yang bisa jadi juga tidak sepenuhnya netral. Ditambah lagi, sebuah berita tentang tokoh biasanya juga hanya memperlihatkan sisi gemerlapnya, tidak benar-benar menyusuri lorong-lorong sisi gelapnya. Dan dari sosok padanan public figure ini, walaupun cerita Novel Wayang saya adalah pada pijakan karakter nusantara, justru saya beberapa kali terpaksa menemukan tokoh-tokoh yang bukan dari Indonesia, karena memang itu pilihan yang tersisa.

Yudhistira, adalah salah satu tokoh yang menurut saya sulit untuk dicari pendekatannya. Saya coba membaca karakter Yudhistira dari cerita Mahabarata versi India justru sangat jauh bahkan dalam sikap tertentu bertolak belakang dari rasa yang saya dapatkan dari sosok Yudhistira ketika tokoh itu dimainkan seorang dalang. Dan seorang dalang hebat, karakter yang lahir dari gairah emosi satu tokoh saat dia berbicara, biasanya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dijelaskan. Alhasil, saat saya mulai ‘berburu’ sosok padanan Yudhistira, sekian lama saya harus mengejawantahkan penemuan rasa yang saya lihat dalam sosok Yudhistira kepada apa yang bisa mudah digapai dan selalu dipegang secara konsisten menggambarkan satu tokoh Yudhistira dalam Novel Wayang saya.

Dunia telah kehilangan Nelson Mandela. Sosok yang saya yakin banyak orang tahu. Dan dalam kesendirian saya di sudut rumah tempat saya biasa menulis, saya juga merasakan kehilangan yang mungkin sedikit berbeda. Selain keluarga dan teman dekatnya tentu bentuk kehilangan bukan pada hal yang bersifat personal-emosional. Bagi banyak orang yang telah terinspirasi atas pilihan-pilihan sikap hidup Mandela, akan merasakan sebuah kehilangan terhadap nyawa semangat melihat tujuan secara lebih tajam dan selalu tajam meskipun dendam dan kemarahan selalu menggoda untuk membuatnya buram. Dan Mandela adalah salah satu dari hitungan jari jumlah pemilik nyawa itu, yang bisa selalu mengingatkan orang bahwa nyawa itu bisa saja berada pada manusia biasa seperti kita-kita.

Dan saya juga salah satu yang merasakan bentuk kehilangan seperti itu. Dari perburuan saya terhadap sosok padanan Yudhistira ketika itu, dari sekian banyak artikel atau berita memaksa saya akhirnya menemukan bahwa Mandela adalah sosok yang paling dekat dengan imajinasi rasa saya tentang seorang Yudhistira.

Seseorang yang mengalami isolasi tak manusiawi dalam penjara duapuluhtujuh tahun, dan ketika dunia berbalik sehingga dia memiliki kuasa untuk bisa melakukan hampir apa saja terhadap orang yang memperlakukan hina dirinya ketika itu, justru dia memaafkan dan memelopori jabat tangan. Menurut saya hanya ada dua kemungkinan, dia adalah seorang yang bodoh, atau memang dia orang yang begitu pandainya, sehingga mampu memimpin dirinya sendiri untuk melihat tujuan akhir tetap kuat membawa dirinya bersikap memaafkan dan menenggelamkan rasa dendam masa lalu.

Dalam kisah wayang, Yudhistira digambarkan selalu diperdaya selama hidupnya. Dan dia beberapa kali memilih sikap sehingga memungkinkan dia diperdaya kedua kalinya oleh hal yang sama oleh orang yang sama. Sebagian orang mungkin membaca ini sebagai sikap dari karakter bodoh. Tapi saya melihat bahwa inilah karakter yang begitu pandainya sehingga mampu selalu membawa jelas tujuan akhirnya, walaupun dalam perjalanannya harus memilih sikap yang mungkin akan dianggap bodoh bagi orang kebanyakan.

Beruntungnya generasi kita bisa menjadi saksi kisah hidup Nelson Mandela yang begitu menginspirasi. Beruntungnya saya yang bisa menemukan sosok padanan Yudhistira dalam diri seorang Mandela. Dan saat dia berpulang. Dunia kehilangan salah satu karakter yang mungkin sulit dipercaya dimiliki oleh seorang manusia biasa bila kita tak pernah mengenal Mandela. Seperti kehilangan saya yang bisa jadi orang menganggap karakter Yudhistira dalam Novel Wayang saya adalah sosok manusia tanpa dendam yang absurd dimiliki manusia biasa bila waktu itu tak berhasil menemukan sosok padanan pada Mandela.

11 Desember 2013

Pitoyo Amrih

Galeri Wayang Pitoyo.com


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun