Mohon tunggu...
Pither Yurhans Lakapu
Pither Yurhans Lakapu Mohon Tunggu... Penulis - Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Penulis buku "TEGAR!; Catatan Perjuangan Melawan Mielitis Transversa". Twitter: @pitherpung, blog: https://pitherpung.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Seorang Ibu dari Kampung Selamatkan Anak Gadisnya yang Menjadi Korban Trafficking

5 September 2014   14:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:33 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu saya disuguhi cerita haru perjuangan seorang wanita desa dari pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan menyelamatkan anak gadisnya yang menjadi korban penjualan manusia. Sang ibu nekat berjalan sendiri dari kampungnya di Timor ke Denpasar, Bali demi menemukan anaknya yang berusia 18 tahun untuk dibawa pulang. Si anak bernama Lily yang saat ini seharusnya duduk di semester 3 Perguruan Tinggi rela meninggalkan bangku kuliah dan pergi tanpa sepengetahuan orangtua setelah tergiur iming-iming pekerjaan dan penghasilan yang tinggi di tempat lain. Setelah mereka dibawa dan tiba di Bali, bukan pekerjaan menarik yang didapatkan tapi penyekapan di sebuah hotel. Saya tidak mendapat informasi detail bagaimana caranya si anak berhasil menghubungi orangtuanya, namun berita yang sampai bahwa si anak sudah sampai di Bali dan sedang disekap menggugah naluri kasih sayang ibunya untuk segera membawa pulang putri kesayangannya apapun resiko yang harus dihadapi. Bermodal uang sebesar 6 juta, wanita paruh baya dari desa yang tidak pernah bepergian ke luar daerah menumpang pesawat ini, nekat berangkat sendirian dari kampung ke Kupang untuk selanjutnya terbang ke Bali. Tiba di Denpasar, dia tidak tahu harus pergi ke arah mata angin mana. Hiruk pikuk suasana kota besar semakin membuat dirinya kebingungan apa yang harus dibuat selanjutnya. Dorongan cinta yang kuat sebagai seorang ibu menghilangkan segala rasa takut dan semakin memacu untuk menemukan anaknya, sekalipun keselamatan diri taruhannya. Ia lalu berjalan meninggalkan bandara tanpa tujuan yang pasti. Di tengah perjalanan yang tak tentu arah ini, "malaikat penolong" pun datang menghampiri. Tanpa diduga ia berjumpa dengan seorang sopir yang menyapanya dan setelah berkenalan ternyata berasal dari kabupaten bertetangga di Timor. Sang sopir bersedia membantu ibu ini untuk mencari alamat hotel tempat penyekapan anaknya. Singkat cerita, dengan usaha keras bersama sang sopir, mereka dapat menemukan alamat tempat penyekapan, bertemu sang anak lalu dibawa pulang ke Timor dengan selamat. *** Seminggu sebelumnya, halaman-halaman koran dan media online ramai memberitakan bagaimana seorang wanita berinisial FG berhasil melarikan diri dari penyiksaan di sebuah tempat penampungan TKI di Depok Jawa Barat atas "bantuan" SIM card ponsel. Gadis yang hendak dijadikan TKW ini lolos dan mengabarkan keberadaannya kepada saudaranya di Jakarta setelah berhasil menyembunyikan SIM card saat ponselnya disita petugas perusahaan perekrut. Kasus-kasus ini muncul di saat kasus sebelumnya masih belum tuntas. Publik tentu masih ingat tewasnya 2 orang tenaga kerja asal NTT, Rista Botha dan Marni Baun, bulan Februari 2014 di Medan, Sumatera Utara yang dipekerjakan di perusahaan sarang burung walet milik pengusaha bernama Mohar. Selain tewas, ada pekerja diantara kelompok mereka yang dipulangkan setelah disiksa hingga lumpuh. Ada lagi lainnya yang berhasil meloloskan diri dan kembali ke NTT setelah melalui perjuangan berat antara hidup dan mati. Laporan mereka kepada aparat kepolisian tidak ditanggapi dengan serius, hanya dianggap angin lalu. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Para anggota Aliansi Menolak Perdagangan Orang (AMPERA) NTT dalam sebuah demo di Kupang, Selasa (17/6/2014). Nampak salah satu korban, Yenny Fuakan, yang lolos dari penyekapan di Medan dan dipulangkan dalam keadaan lumpuh. (Satutimor.com/Romo Leo Mali)"][/caption] Dua hari yang lalu kita kembali disuguhi penggebrekan tempat penampungan TKI ilegal PT Karya Semesta Perkasa di Ciputat, Tangerang Selatan dimana 80% diantaranya berasal dari NTT. Diduga mereka korban trafficking karena sebagian besar belum cukup umur dan buta huruf. Mereka meminta dipulangkan karena kondisi di penampungan sangat menderita. Tak terhitung lagi cerita tentang penyiksaan tenaga kerja NTT seperti ini terjadi juga di daerah lain seperti Riau, Batam hingga luar negeri. Mungkin satu-satuya kasus human trafficking NTT yang cukup mendapat perhatian publik adalah penyelamatan Wilfrida Soik dari hukuman mati di Malaysia beberapa waktu lalu. Wilfrida Soik divonis bebas setelah mendapat bantuan dari berbagai pihak. Kasus Wilfrida cukup berhasil ditangani tidak terlepas dari momentum saat itu yang bertepatan dengan kampanye Pileg hingga Pilpres. Upaya penyelamatan Wilfrida tidak lebih sekedar komoditas berharga untuk meraih ambisi politik dalam Pemilu. Saya tidak sedang mengerdilkan upaya-upaya yang telah dilakukan berbagai pihak membantu Wilfrida Soik, namun melihat perkembangan tanggapan elit terhadap kasus trafficking di luar masa hajatan politik, menguatkan dugaan bahwa rakyat kecil dari NTT tak lebih hanyalah sebagai komoditi. Entah itu oleh mereka yang ingin mengeruk dollar sebanyak mungkin ataupun mereka yang ingin meraih kekuasaan dan jabatan. Kisah-kisah di atas merupakan puncak gunung es yang memberi gambaran bahwa setiap saat manusia-manusia NTT diperdagangkan namun kurang mendapat penanganan serius apa lagi dihentikan. Umumnya para tenaga kerja direkrut secara ilegal tapi bisa selamat bukan karena kesigapan aparat maupun pemerintah melindungi rakyatnya tapi semata karena usaha dan perjuangan mereka sendiri yang terbatas. Setelah sadar terjerat iming-iming penghasilan melimpah, umumnya para korban berusaha dengan cara sendiri untuk menyelamatkan diri. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah dan aparat. Contohnya dalam kasus tewasnya 2 orang tenaga kerja di Medan, Polisi sebenarnya sudah mendapat laporan dari korban yang berhasil kabur setahun sebelumnya namun laporan itu tidak digubris hingga jatuh korban tewas. Mirisnya, walaupun sudah terdapat korban jiwa, penanganannya masih terkesan lamban. Kabarnya sang pelaku di Medan masih bebas melenggang dan korban lain yang masih dipekerjakan dengan tidak manusiawai belum diselamatkan. Kasus lain belakangan semakin menguak perilaku aparat kita yang memanfaatkan sesama sebagai komoditas. Seorang penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT, Brigpol Rudy Soik yang terbeban dengan berbagai mafia trafficking di NTT memanfaatkan posisinya untuk mencoba memutus rantai perdagangan manusia itu. Ia berusaha membongkar kasus trafficking 52 orang NTT ke Malaysia yang dilakoni oleh PT. Malindo Mitra Perkasa yang diduga melibatkan pihak keamanan sendiri. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="52 orang tenaga kerja ilegal sedang diamankan di Polresta Kupang, Maret 2014. (Kompas.com)."][/caption] Namun yang terjadi menjelang penetapan tersangka kasus ini, atasan sang Brigpol menginstruksikan untuk kasus itu dihentikan. Naluri kemanusiaan dan keterbebanan akan nasib sesama anak daerah memaksa Brigpol Rudi untuk melawan dan siap menerima konsekuensinya. Ia melaporkan komandannya yang menginstruksikan penghentian penyidikan, Direktur Kriminal Khusus Polda NTT, Komisaris Besar Mochammad Slamet ke Mabes Polri, Komnas HAM, Ombudsman dan Indonesia Police Watch (IPW). "Sebagai putra asli NTT saya sangat prihatin dengan anak-anak kita yang dipekerjakan tanpa melalui prosedur yang benar. Saya tahu orangtua mereka di kampung itu akses komunikasi sangat sulit, sehingga kalaupun direkrut dengan cara yang benar keberadaannya di Malaysia bisa diketahui oleh orangtua mereka. Jangan sampai mereka (calon TKI) meninggal pun, orangtua tidak tahu dan menggangap mereka masih aktif kerja,” kata Rudy dikutip Kompas.com. Kenyamanan kepolisianpun terusik, Brigpol Rudi dimutasi menjadi staf di Polres TTS dan terancam dipecat dengan tuduhan "tidak menjalankan tugas dengan alasan tidak jelas alias disersi." Kasus trafficking yang pernah ditanganipun menjadi kabur. Melihat gelagat penanganan trafficking yang seperti ini, kita bisa berkesimpulan praktek ini masih akan berlanjut. Entah pada siapa harapan menghentikan penjualan manusia itu kita gantungkan setelah pihak berwajib lebih mementingkan keuntungan pribadi dibanding nasib sesama anak bangsa? Mungkin tindakan si ibu dari kampung yang pergi sebatang kara antar propinsi mencari dan menyelamatkan anaknya adalah langkah terbaik yang bisa dilakukan saat ini. #StopBajualOrangNTT *** Rujukan: 1. Petisi: Niat bongkar penyelundupan TKW, malah dipecat. Dukung Brigpol Rudy Soik melawan trafficking di NTT. Mohon dukungan menandatangani petisi ini. 2. Topik Pos Kupang: Polisi laporkan atasan ke Komnas HAM. 3. Usut mafia perdagangan orang di NTT. 4. Rudy Soik terancam dipecat. 5. Tragedi sarang burung walet yang dilupakan. 6. Penampungan TKI NTT di Jakarta Digrebek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun