Perjuangan Hidup dan Apa yang Kurasakan Selama Dua Tahun Menderita Myelitis Transversa
Hari ini (09/06/2012), sudah 2 tahun 1 bulan 12 hari aku menderita Myelitis Tranversa, penyakit yang sangat jarang ditemukan. Berbagai usaha dan daya telah kulakukan, berbagai kondisi sulit harus kuhadapi. Dari pembaringan ingin kutulis sedikit pengalamanku bergulat melawan penyakit ini.
Tanggal 26/4/2010 aku mulai merasakan gejala ketidakberesan dalam tubuhku. Awalnya yang kurasakan hanyalah kesulitan untuk buang air besar dan buang air kecil, tubuhku masih terasa fit. Sebelumnya aku tidak merasakan kelainan apa-apa. Sehari kemudian (27/04/2010) aku mulai merasakan keram di kedua kakiku. Waktu itu badan sudah terasa agak lemah. Pada hari ke-4, rasa keram semakin kuat, kaki sudah sulit bergerak/berjalan. Kupikir rasa keram di kaki hanya akibat dari sembelit dan susah buang air kecil saja. Karena rasa sakit yang kuat itu membuatku menjadi semakin lemah. Saat itu baru diputuskan utuk ke Rumah Sakit.
Tanggal 29/04/2010, aku masuk Rumah Sakit WZ. Yohannes-Kupang dengan kondisi kaki tidak bisa digerakkan tapi masih bisa merasakan sentuhan. Tindakan pertama, aku diberi catheter untuk memperlancar buang air kecil. Namun hanya satu hari berselang aku mulai merasakan mati rasa dimulai dari kaki perlahan terus meningkat sampai dada. Aku tidak merasakan apa-apa lagi di bagian bawah tubuh, seolah aku tidak punya kaki lagi. Setelah dilakukan beberapa tes dan pemeriksaan oleh dokter saraf (tidak di-MRI karena semua Rumah Sakit di kota ini tidak memiliki fasilitas ini), aku didiagnosa menderita Gullian Barre Syndrome (GBS). Kondisiku kritis, tekanan darah menurun drastis. Aku dirawat intensif di ICU.
Selain kedua kaki tidak bisa digerakkan dan mati rasa sampai dada, kedua tanganku juga menjadi lemah dan sulit digerakkan. Tangan hanya bisa digerakkan sedikit dan tidak bisa dikontrol dengan baik. Misalnya jika ingin menunjuk mata justeru hidung yang ditunjuk. Sampai pada tahap ini, aku sudah merasakan kesulitan bernapas dan menelan, nafsu makan dan kesadaran menurun. Membuka matapun terasa sulit, penglihatan kabur, jarak pandang kurang dari satu meter. Suaraku hilang, hanya bisa mendesis. Aku sering demam sampai 42 derajad celsius. Badan sakit sekali, kadang seperti melayang-layang. Hemoglobin sempat turun sampai angka 7. Berat badanpun menurun drastis.
Untuk menjawab diagnosa, aku diberi antibiotik dan imuno globulin bermerk Gamaraas sebanyak 35 botol. Aku tidak tahu jenis obat-obatan lain apa yang diberikan. Sekitar 4 hari setelah tubuh mati rasa baru aku bisa buang air besar tapi itu terjadi secara otomatis, tidak ada rasa ketika ingin buang air. Buang air kecil masih pakai catheter. Muncul luka dekubictus di punggung karena kebanyakan tidur terlentang. Napas terasa sesak kalau tidur miring.
Hampir 2 bulan kritis di ICU barulah kondisiku menjadi lebih baik, sudah tanpa bantuan O2 dan infus. Badanku yang mati rasa masih tetap sedangkan kedua tangan berangsur kuat dengan fisioterapy. Suara berangsur pulih. Aku masih dirawat di rumah sakit hingga 4 bulan (30/08/2011).
Pada bulan ketujuh (Desember 2010), aku sudah bisa memakai condom catheter karena sudah bisa buang air kecil secara otomatis (ngompol). Aku masih belum rasa ketika akan buang air kecil maupun buang air besar. Pada bagian tubuh yang mati rasa, aku mulai merasakan sakit seperti kesemutan dan setrum yang awalnya kecil sekali, terus makin meningkat hingga saat ini.
Delapan bulan kemudian tepatnya 17/01/2011 aku demam-demam lagi. Aku memutuskan untuk cross check ke Rumah Sakit Dr. Soetomo di Surabaya, sekedar membandingkan dan ingin mencari tahu pasti apa sebenarnya sakitku ini. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan seperti EMG, tes keringat, darah, termasuk MRI, dokter menyimpulkan aku menderita Myelitis Transverse. Terdapat inveksi panjang dari tulang ekor sampai thoracal 6 (sejajar jantung). Sehingga aku harus menjalani serial program IVIG selama 1 tahun dimulai awal February 2011. Imuno globulin yang diberi setiap kali booster adalah 6 botol Gamaraas @50 ml. Program IVIG tuntas 12 seri pada bulan Januari 2012. Saat itu aku juga harus dirawat untuk masalah albumin tubuh yang sudah sangat rendah.
Sambil menjalani program IVIG dan fisioterapy, aku merasakan sedikit demi sedikit perubahan, berat tubuh agak naik. Kalau sebelumnya aku hanya bertahan duduk di kursi roda selama kurang lebih 5 menit, setelah 6 bulan menjalani terapi (Juli 2011) aku sudah bisa bertahan duduk satu jam dan terus meningkat sampai sudah bisa bertahan lebih dari 5 jam saat ini. Namun bagian tubuh yang dulu mati rasa (kaki sampai dada) masih tetap, disentuh bahkan ditusuk jarumpun aku tidak rasa. Dari dalam tubuh aku merasakan kesemutan yang semakin kuat. Agustus 2011, otot-otot perut sampai kaki mulai berkontraksi pada waktu-waktu tertentu secara otomatis, tanpa bisa dikontrol. Otot-ototku seperti kejang-kejang dan gemetaran.
Area yang mati rasa belum bergeser. Saat ini aku masih terus merasakan keram, kesemutan dan setrum setiap saat di tubuhku. Di bagian dada (perbatasan antara yang sadar dan tidak) aku merasa kulit dan otot seperti tebal sekali, ini membuat napasku tertekan. Kedua tanganku sudah cukup kuat dan normal. Obat-obatan yang aku konsumsi sekarang berupa vitamin-vitamin saraf, vitamin tulang dan obat neuropatic pain. Aktifitas hanya di atas tempat tidur dan kursi roda.