Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya (Soekarno, 1961).
[caption id="" align="alignright" width="320" caption="Monumen perang Kolbano yang didirikan Belanda tahun 1908 (Dok. pribadi)."][/caption]
Beberapa bulan lalu saya menulis artikel Orang Jawa yang Tewas dalam Perang Kolbano di Timor, 26 Oktober 1907. Di situ tercantum nama-nama tentara Belanda yang tewas dalam perang Kolbano dimana dari 16 orang yang tewas, hanya 2 orang Eropa sedangkan 14 lainnya adalah orang Jawa. Dalam artikel itu sekaligus saya menyampaikan tentang 3 orang pahlawan Kolbano (Boi Kapitan, Pehe Neolaka dan Esa Taneo) yang ditangkap lalu dibuang ke tempat lain yang tidak dketahui hingga kini.
Perang Kolbano terjadi ketika pasukan Belanda (kaes muti) datang ke Temukung Kolbano (Temukung: tingkatan pemerintahan lokal saat itu dibawah Raja dan Fetor, di atas Lopo) untuk menagih paksa denda berupa uang tunai sebesar 1.500 keping perak yang dibebankan kepada rakyat Kolbano akibat penolakan mereka membayar pajak kepada Belanda yang mencekik. Juga sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda diantaranya kewajiban tanam paksa, kerja rodi dan menyerahkan"senapan tumbuk" (senapan tradisional) yang mereka miliki untuk dimusnahkan.
Saya mendapat tanggapan dari beberapa sesepuh yang meluruskan fakta bahwa sebenarnya pemuda-pemuda Kolbano yang dibuang bukan cuma 3 orang itu tetapi 79 orang yang terdiri dari pemimpin perlawanan Boi Boimau dengan julukan Boi Kapitan ditambah 40 orang eksekutor (2 diantaranya adalah yang sering disebut: Pehe Neolaka dan Esa Taneo) serta 38 pemuda lain yang diduga terlibat. Bukti yang disodorkan adalah detail cerita bagaimana caranya tentara-tentara Belanda dieksekusi di Kolbano yang kemudian dikenal sebagai perang Kolbano 26 Oktober 1907.
Diceritakan bahwa sebuah strategi apik dijalankan para laskar Kolbano untuk membunuh pasukan penjajah yang tiba pada tanggal 26 Oktober 1907. Mengingat bahwa persenjataan yang dimiliki tidak mungkin sanggup melawan senapan mesin kepunyaan pasukan Belanda maka Boi Kapitan sebagai pemimpin bersama Meo Naek (panglima besar) Tua Lakapu menyusun siasat perang dengan menggunakan peralatan sederhana yang tidak menunjukan tanda-tanda mencurigakan bahwa akan ada perlawanan. Ketika tiba, para tentara Belanda dikelabui dengan bertingkah seolah rakyat Kolbano bersedia membayar upeti yang hendak ditagih.
[caption id="" align="alignright" width="320" caption="Peletakan krans bunga di monumen perang Kolbano tahun 1927 (Dok. Tropen Museum)."][/caption]
"Senjata" yang digunakan adalah benas (parang bertani) yang diasah tajam, abu ra'o (abu dapur) dan cairan cabe rawit yang disembunyikan dibalik sarung. Juga disiapkan kelapa muda yang akan disuguhkan ketika mereka tiba mengingat pasukan Belanda pasti kehausan setelah menempuh perjalanan panjang menuju Kolbano.
Sebelum pasukan Belanda tiba, melalui mata-mata diketahui bahwa merek berjumlah 20 orang maka ditentukanlah 40 laskar terlatih yang akan bertugas melakukan pembunuhan, 2 orang bertugas mengeksekusi 1 tentara Belanda. Caranya adalah ke 40 orang berlutut maju secara serentak menyuguhkan buah kelapa muda dengan perhitungan akan serentak pula para tentara Belanda mulai menenggak air kelapa muda itu. Saat itulah abu ra'o maupun cairan cabe yang telah disiapkan dihamburkan ke wajah mereka untuk membutakan mata, sebelum dibunuh dengan benas yang telah disiapkan.
Strategi ini dijalankan dengan cukup mulus, 16 orang dibunuh sedangkan 4 orang berhasil meloloskan diri. Dari 4 orang yang lolos, hanya 1 orang yang bisa selamat kembali ke markas besar Belanda di Kapan (sekitar 80 KM dari Kolbano) dan melaporkan kejadian di Kolbano, 3 orang lainnya tidak diketahui bagaimana nasib mereka.
Belanda segera menyerang balik dengan mengerahkan pasukan dalam jumlah yang lebih besar dan persenjataan yang lebih kuat. Mereka berhasil menguasai, membumihanguskan kampung Kolbano dan menangkap Boi Kapitan bersama 40 orang eksekutor ditambah 38 laskar yang diduga terlibat lalu dibuang ke tempat lain yang tidak diketahui pasti hingga kini.