Mohon tunggu...
Pither Yurhans Lakapu
Pither Yurhans Lakapu Mohon Tunggu... Penulis - Pemitra (pejuang mielitis transversa)

Penulis buku "TEGAR!; Catatan Perjuangan Melawan Mielitis Transversa". Twitter: @pitherpung, blog: https://pitherpung.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urgen! Besaran dan Mekanisme Pengelolaan Dana Desa Perlu Dievaluasi

11 Agustus 2021   08:02 Diperbarui: 14 Agustus 2021   06:11 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proyek irigasi di Desa Tuakole, Kabupaten TTS tahun 2020 yang dikerjakan asal jadi | Sumber: liputan4.com

Oleh karena itu, agar dana tidak terbuang sia-sia dan sebelum masalah kian menumpuk maka faktor SDM kepala maupun perangkat desa harus ikut diperhitungkan dalam penentuan besaran dana desa. 

Bukan meremehkan mereka tapi, menurut hemat saya, perlu ada proses mengasah kemampuan mengelola dana berjumlah kecil sebelum diberi tanggung jawab mengelola uang negara yang lebih besar. 

Ada baiknya besaran anggaran DD dimulai dari jumlah yang terkecil dulu, jangan langsung "disuguhi" dana miliaran seperti saat ini. Kalau pemerintah desa setempat sanggup mengelolanya barulah bertahap ditingkatkan di tahun-tahun mendatang. Sebaliknya jika mereka gagal maka dana desa tahun berikutnya dikurangi sekaligus diberi sanksi agar memacu mereka lebih cermat mengelola anggaran.

Langkah penguatan kapasitas SDM sejak dini sangat diperlukan mengingat kepala desa bisa menjabat selama 3 periode (18 tahun) dan aparatnya bisa terus menjabat hingga berusia 60 tahun (UU Desa, 2014). 

Selanjutnya, sistem pengelolaan DD pun mendesak untuk dibenahi agar mencegah praktik-praktik oknum seperti yang saya utarakan sebelumnya. Pengawasan harus lebih diperketat, baik itu internal maupun eksternal, mengingat mekanisme pengelolaan DD kini sudah mirip sistem manajemen keuangan daerah oleh eksekutif dan legislatif.

Pertanggungjawaban jangan hanya sebatas administrasi di atas kertas tetapi kualitas pekerjaan di lapanganlah yang utama.

Kasus-kasus DD terekspos di Kabupaten TTS, NTT, hingga saat ini bisa menjadi contoh praktis dari apa yang sudah saya uraikan, seperti: dugaan korupsi proyek tiga unit embung senilai Rp. 675 juta di Desa Taebone (2018), baru setahun dibangun tapi satu unit embung senilai Rp. 447 juta di Desa Obaki sudah hancur (2019), proyek irigasi beranggaran Rp. 390 juta di Desa Tuakole yang dikerjakan asal jadi (2020), hancurnya proyek wisata multi-years Bukit Fatuhan berbiaya total ±Rp. 1,5 miliar di Desa Kolbano (2020), dan masih banyak lagi.

Yang masih hangat dari Kabupaten TTS saat ini, banyak kepala desa baru menyelesaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) 2020  dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) 2021 pada akhir bulan Juni kemarin, padahal seharusnya di minggu kedua Agustus, paling lambat, dana yang sudah dicairkan mencapai 80%.

Dengan keterlambatan itu, apakah kualitas pekerjaan akan maksimal jika dikebut selama enam bulan tersisa? Apakah dana 1-2 Miliar bisa dihabiskan di desa dengan hasil tepat sasaran  dan sesuai aturan hanya dalam satu semester?

"Saya tidak yakin!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun