Saya besar dari keluarga yang akrab dengan pantai. Bapa besar saya namanya Bapa Min, punya satu kemampuan yang tidak dimiliki kebanyakan warga di pesisir Kolbano yakni mengenali perilaku penyu alias kéa dalam Bahasa Kupang (Bahasa Timor: ké) yang sering memilih Pantai Kolbano sebagai tempat berkembang biak.
Bapa Min cukup hafal kapan musim bertelur dan kapan waktu terbaik seekor kea betina datang menitipkan telur-telurnya di dalam pasir untuk dierami.
"Kea membutuhkan suasana pantai yang tenang dan aman untuk bisa bertelur," cerita Bapak Min suatu ketika. Beliau biasa berkisah dengan lugas tentang proses kea bertelur kepada kami yang masih bocah.
Pada tengah malam bulan gelap di musim bertelur, seekor kea bunting akan datang, masuk ke semak-semak di sekitar pantai lalu menggali lubang sedalam 0,5-1 m dan lebar seukuran tubuhnya, menggunakan keempat tungkai tanpa menimbulkan suara berisik berlebih. Sepanjang Pantai Kolbano memang ditumbuhi sejenis perdu yang kami kenal dengan nama tasi'. Tasi' tumbuh lebat di atas pasir yang melebar hingga puluhan meter dari jangkauan ombak.
Usai bertelur, secara naluriah sang induk akan menimbun telur-telurnya dengan pasir galian tadi dan merapikannya kembali sehingga manusia maupun predator lain tidak menyadari kalau di situ terkubur telur-telur kea. Penyu hijau betina itu pun kembali ke habitatnya sebelum fajar menyingsing.
Lewat 8-10 minggu, di malam yang sudah diperhitungkan bahwa telur-telur telah menetas, dengan instingnya sang induk akan kembali ke pantai tempat telur-telur tadi disimpan dan berenang di deburan ombak sambil mengeluarkan suara khas sebagai isyarat panggilan kepada tukik-tukik (Timor: ké ana'). Tukik-tukik yang telah melepaskan diri dari cangkang di dalam pasir segera bergerak hanya satu arah yakni menuju deburan ombak di mana sang induk menunggu.
Berhasil masuk ke lautan berarti hidup baru dimulai, risiko di darat telah berakhir.
"Banyak kea yang bertelur di pantai tiap tahun ko bapa?" tanya kami. Pantai dimaksud adalah yang berada dalam radius sekitar 2 Km ke timur dan barat tempat kami sering bermain air laut dan nelayan-nelayan tradisional melabuhkan sampannya.
"Semusim beta perkirakan sekitar 3-4 ekor yang bertelur di sini tapi yang tepergok mungkin 1, paling banyak 2. Sering sonde ada sama sekali yang dipergoki," terang Bapa Min.
Salah satu reptil laut ini memang tidak mudah dideteksi keberadaannya kalau lagi bertelur. Sulit juga memergoki kea dari jejaknya di atas pasir karena gradasi pasir di Pantai Kolbano kasar hingga berukuran koral sehingga jejak kea yang bertelapak lebar itu tidak mudah tertinggal.
*