Berbicara tentang ibu tiri pasti yang terbayang adalah perlakuan yang tidak adil dari seorang ibu terhadap anak tirinya. Tak jarang kita mendengar atau menyaksikan bagaimana perlakuan tak semena-mena dari ibu tiri berbentuk siksaan secara fisik dan psikis yang berat. Telah banyak film dan sinetron yang mengangkat hal ini sebut saja film "Ratapan anak tiri" yang dibintangi alm. Tanty Yosepha dan sinetron "Kisah sedih di hari minggu" yang dibintangi Marshanda.
Keidakadilan itu biasanya terjadi ketika si anak tiri masih kecil sehingga otomatis akan berpengaruh terhadap karakternya ketika dewasa nanti. Banyak dampak negatif yang timbul namun ada juga dampak positif yang bisa dihasilkan dari perlakuan seorang ibu tiri bila itu disikapi dengan bijak.
Saya adalah orang yang merasakan dampak dari perlakuan ibu tiri walaupun saya sendiri bukan anak tiri. Mama sayalah yang menjadi anak tiri. Mama adalah orang yang benar-benar merasakan pahit getirnya seorang anak kehilangan ibu kandung. Tulisan ini bukan untuk menceritakan penderitaan yang dialami mama tapi didikan yang saya alami sebagai dampak dari perlakuan yang dialami seorang anak tiri.
Karena pernah merasakan hidup sebagai anak tiri maka sejak kecil mama mendidik kami dengan satu tujuan, "agar kami mandiri jika suatu saat mama tidak ada lagi." Sering mama bilang lebih baik seorang anak itu yatim dari pada piatu. Seorang anak pasti lebih baik hidupnya bila kehilangan bapak dibanding kehilangan mama karena kehilangan mama sama dengan kehilangan kasih sayang yang adalah pondasi hidup setiap orang. Akan semakin parah bila seorang anak yang sudah kehilangan mama mendapatkan mama tiri karena tentu semakin menjauhkan dia dari kasih sayang orang tua.
Satu-satunya cara menghadapi segala kemungkinan hidup menurut mama adalah mandiri. Dengan mandiri, orang akan bertahan hidup ketika kehilangan apapun termasuk kasih sayang.
Sejak kecil kami sudah dididik untuk mandiri. Pekerjaan-pekerjaan rumah sudah dibagi-bagi untuk setiap orang dan harus dikerjakan dengan tuntas. Mama sangat anti dengan keluhan ataupun sungut-sungut dalam bekerja. Mama beralasan kalau saat ini mama masih ada saja kami sudah mengeluh apa lagi kalau mama sudah tidak ada. Mama tidak sedang berbicara kemungkinan bapak akan menikah lagi kalau ia tidak ada tapi ia berbicara tentang segala sesuatu mungkin saja terjadi dan kami harus siap menghadapinya sejak dini.
Berkebun dan memelihara ternak mulai dari yang kecil seperti ayam, kambing hingga sapi bukan lagi hal yang berat bagi kami. Mengumpulkan hasil alam untuk tambahan uang saku selalu menjadi pekerjaan kami diluar jam sekolah. Berbagai kemampuan diri dilatih bukan hanya sekedar untuk mencari tambahan biaya hidup tapi lebih dari itu untuk melatih kemandirian kami.
Perlakuan yang dialami mama sebagai anak tiri sangat terlihat dari cara mama mendidik kami. Didikan tangan besi tak pelak diterapkan mama pada semua anaknya. Mama bilang, "lebih baik saya yang mendidik kamu dengan rotan tapi penuh kasih sayang daripada nanti orang lain yang memberi kamu rotan tetapi bukan demi sebuah didikan." Rotan akan segera melekat di tubuh kami bila melakukan hal-hal yang tidak benar misalnya berkelahi, malas kerja/belajar, bekerja tidak beres, nilai ulangan jelek, bangun kesiangan dan lain-lain.
Mama hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SR (SD jaman dulu) namun mama telah memiliki pandangan yang sangat maju tentang pentingnya pendidikan sebagai bekal bagi kemandirian seseorang. Ketika harus melanjutkan studi, kami akan diberi pilhan mau melanjutkan studi dan biaya penuh ditanggung orang tua atau tidak mau sekolah lagi dengan konsekuensi tidak akan dibiayai hidupnya lagi. Dengan demikian pilihan untuk studi lagi adalah pilihan sendiri dan harus dibuat dengan penuh tanggung jawab. Jurusan yang dipilih terserah pada kemauan masing-masing, orang tua hanya membiayai. Sesuai kemamapuan bapak dan mama, mereka berjanji bahwa sampai pada level S1 mereka akan membiayai, lewat dari S1 sudah menjadi tanggung jawab masing-masing.
Walaupun di desa dan pekerjaan bapak hanya sebagai guru SD, dengan jumlah anak 7 orang (sebenarnya kami 8 bersaudara tapi satunya diadopsi adiknya bapak) yang harus dibiayai namun mereka selalu mendukung kami untuk terus bersekolah dengan konsekuensi gaji bapak yang diterima akan lagsung habis untuk biaya sekolah kami. Saya pernah menyaksikan bagaimana gaji yang baru diterima dari bapak setelah dibagi-bagi untuk anak-anaknya hanya menyisakan Rp. 15 ribu padahal gaji bapak saat itu hampir Rp. 3 juta.
Tak ketinggalan pembinaan kerohanian kami menjadi perhatian khusus bapak dan mama. Mereka lebih mengijinkan kami menghabiskan waktu mengikuti kegiatan di gereja dari pada bermain-main dengan teman sebaya tanpa tujuan. Seorang anak akan tangguh menghadapi cobaan hidup bila dibekali iman yang kuat.
Hasil didikan mama dari 7 orang anaknya, 5 orang meraih gelar Sarjana, 1 orang bergelar diploma dan 1 orang memegang ijasah SMA dengan prestasi di sekolah tidak terlalu buruk, selalu berada dalam lingkaran 3 besar atau paling kurang 5 besar di kelasnya dan sering menjadi langganan beasiswa. Sebuah pencapaian yang lumayan bagus menurutku dari orang desa yang hanya mengenyam pendidikan SR bersama bapak yang hanya tamatan SLTA.
Kini mama sudah tiada, beliau pergi tepat 1 tahun setelah anaknya yang bungsu berhasil meraih gelar sarjana. Pengaruh didikan ibu tiri bagi mama setidaknya telah ikut mempengaruhi terbentuknya karakter saya menjadi pribadi yang mandiri dan tegar. Tak ada sesuatu yang lebih bernilai dari sebuah didikan yang ia tinggalkan. Mama adalah anak tiri yang telah berhasil menanamkan jiwa mandiri dan membekali anak-anaknya untuk tangguh menjalani hidup masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H