Karakter pemilih ideal harus memilki pengetahuan dan keterampilan, agar dapat berpartisipasi secara bermakna dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024. Untuk itu, sosialisasi dan pendidikan pemilih kepada semua segmen masyarakat harus dilakukan oleh semua pihak melalui program berkelanjutan.Â
Pemilih yang cerdas, aktif, dan kritis dibutuhkan untuk mendorong terwujudnya Pemilihan Kepala Daerah yang berkualitas dan berintegritas. Hal ini disampaikan oleh Mantan Anggota KPU Supiori Kordinator Divisi Perencanaan, Data dan Informasi sekaligus Wakil Koordinator Divisi Teknik Penyelenggara Pemilu, Piethein Wakum,S.IP.,M.M saat berdiskusi dengan awak media.
"Dengan mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menganalisa tiap komunitas pemilih, maka diharapkan KPU dapat menjalankan proses sosialisasi dengan lebih masif serta pendidikan pemilih dengan lebih efisien, efektif, dan berkelanjutan," kata Wakum.
Lanjutnya, Â tanggung jawab sosialisasi dan pendidikan pemilih tidak hanya terletak di pundak KPU saja, akan tetapi harus melibatkan multipihak seperti pemerintah daerah, DPRD komisi yang membidangi Politik, Pemerhati Pemilu, Media, Lembaga pendidikan tinggi, lembaga Adat, perempuan dan pemuda adat.
"Untuk itu, desain atau model sosialisasi dan pendidikan pemilih harus lebih variatif, sesuai dengan profil pemilih yang menjadi sasaran. Pemetaan pemilih menjadi dasar utama menyusun desain pendidikan pemilih yang dibutuhkan masing-masing segmen atau komunitas," tambahnya.
Wakum mengungkapkan lima tantangan masyarakat adat dalam penyelenggaraan pemilu dan Pemilihan. Pertama, beberapa kelompok masyarakat adat masih tak tersentuh pelayanan administrasi oleh Pemerintah secara objektif. Kedua, kebutuhan dan situasi masyarakat adat berbeda di setiap wilayah adat. Ketiga, Â kurangnya sosialisasi dan pendidikan pemilih di wilayah masyarakat adat. Keempat, masyarakat adat kesulitan memilih pemimpin sendiri berdasarkan kearifan lokal yang dilakukan sejak dulu karena telah kehilangan kosep berpikir untuk menentukan masa depan wilayah adatnya. Dan, kelima secara geografis wilayah masyarakat adat jauh dari layanan publik termasuk akses atas teknologi informasi KPU.
"Berdasarkan analisis, satu hal yang paling penting adalah bagaimana masyarakat adat memahami lebih jauh arti Pemimpin yang baik dalam Demokrasi atau Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah. Jadi, tidak bisa berupa penguatan dalam bentuk bahan sosialisasi yang disampaikan melalui media Sosial seperti Facebook, IG, Tiktok dan media lainnya, karena tidak semua masyarakat adat menggunakan Android bahkan memiliki jangkauan internet yang memadai, hal ini sebagai salah satu indikator yang menyebabkan sehingga sebagian Masyarakat Adat tidak mengenal satu proses pembelajaran Pemilu," katanya.
Sementara itu, Wakum menjelaskan pentingnya modul, untuk mengcreate konten yang arahnya adalah soal tanggung jawab memilih. Di dalam modul, ada hak dan juga kewajiban. "Kemudian bagaimana menerjemahkan hak pilih itu bukan hanya sekedar hak, tetapi tanggung jawab dalam berpartisipasi di kehidupan sosial kemasyarakatan dan juga kebangsaannya,"ucapnya.
Selain itu Wakum menguraikan setidaknya ada lima hal pokok materi pendidikan Pemilih, yakni nilai strategis pemilu-hak dan kewajiban rakyat serta resiko pemilu tidak berkualitas, agenda pemilu dan tata cara memilih serta kampanye partisipasi pemilu, kearifan dalam aktivitas dunia maya, bahaya politik uang, berita bohong, ujaran kebencian, dan politik identitas destruktif.
"Saya berharap pendidikan politik dapat dikembangkan secara kolaboratif dengan melibatkan seluruh stakeholders. Selain bisa dikembangkan mengikuti perkembangan teknologi Informasi, modul yang disusun berdasarkan segmentasi ini penting sebagai instrumen pegangan dalam penyampaian materi yang dapat disebarluaskan kepada stakeholders dalam rangka peningkatan partisipasi politik," tutupnya.