Tanggal 05 April 2021, Seroja di Kota Karang meredah, berlalu sama sekali. Saat itu histeria selama musibah badai berganti keputusasaan. Sawah-sawah sudah ditanami bebatuan dan pasir. Rumah tempat berlindung dipenuhi lumpur dengan atap serta jendela yang sudah porak poranda. Ini tidak termasuk aneka perabotan rumah tangga yang rusak dan hewan peliharaan yang mati dan tidak ditemukan. Masyarakat NTT mengalami apa yang disebut Edward Schillebeeckx sebagai pengalaman kontras negatif, suatu penderitaan yang kontras dengan situasi kebahagiaan manusia.Â
Mereka tidak hanya dibayang-bayangi Corona, tetapi juga Seroja. Mereka protes, melawan, dan akhirnya menerima, karena derita yang diakibatkan oleh amukan alam adalah harga mahal yang harus dibayar manusia selama hidup di bawah kolong langit. Tetapi lebih dari sebuah penerimaan, Schillebeeckx benar, pengalaman penderitaan melahirkan daya. Mereka harus menjadi protagonis-protagonis kecil, yang setidaknya menjawab kebutuhan paling mendasar para korban. Makanan!
Di hari itu, beberapa ibu bertemu di Seminari Hati Maria-Kupang, mengumpulkan tenaga yang masih tersisa, dan mulai memasak dalam jumlah yang banyak. Mereka meninggalkan keluarga, dan didasari oleh naluri kepedulian, mereka menegasi apa yang Paus Fransiskus gambarkan sebagai "saksi bisu penderitaan" (Laudato Si'. 36).Â
Mereka adalah ibu-ibu yang tergabung dalam organisasi Solidaritas, Ekonomi, Pemberdayaan dan Ekologi, atau yang disingkat SEPEKITA. Mereka bekerja dalam diam, jauh dari sorotan publik, namun keterlibatan mereka selama masa-masa krisis ini menunjukkan bahwa perempuan pun memiliki potensi bersumbangsih.Â
SEPEKITA sebelum badai seroja terjadi, sudah bergerak di bidang pemberdayaan perempuan, menangani proses penjemputan para migran selama pandemi Covid termasuk bantuan logistik untuk yang kurang mampu--- dan selama badai Seroja terjadi, di saat pemerintah daerah belum mengambil kebijakan apapun, mereka mendahului dengan menjawabi kebutuhan paling dasar dari korban Seroja.
Ibu-ibu SEPEKITA, kalau boleh saya menafsir, memberi teladan sekaligus kritikan terhadap sosietas masyarakat NTT yang dalam banyak lapisan masyarakat menjadikan perempuan sebagai manusia yang memiliki fungsi hanya di dapur, di sumur dan di kasur. Bahkan lebih biadab dari ini, perempuan NTT banyak mengalami pelecehan dan kekerasan, entah secara fisik, emosional maupun individualitas.Â
Malangnya, banyak dari mereka menerima takdir itu karena karena budaya telah mempersiapkan. Agama-agama dengan gagasan universal pun ternyata banyak yang menjadi pembungkus pada anggur yang lama, moralitas tertutup, dipeluk oleh mereka yang menamai diri homo homini deus namun di lapangan homo homini lupus. Hingga akhirnya, egalitas ibarat jauh panggang dari api.
Saya jadi teringat akan konsep Mudang: perempuan rentan yang kemudian dipilih menjadi dukun. Ada dua jenis Mudang, Kang Shin Mu: yang dirasuki Roh dan Se Sup Mu: faktor turunan. Sementara Se Sup Mu sangat artistik, Kang Shin Mu yang secara harfiah berarti dukun yang diturunkan dewa, biasanya dirasuki oleh Roh selama ritual.
Kang Shin Mu menjadi Mudang melalui Shin Byung, yang dapat diterjemahkan sebagai penyakit dewa, atau kerasukan Roh: sulit tidur, kesulitan makan, halusinasi pendengaran dan penglihatan, hingga gangguan mental. Setelah seorang perempuan dirasuki Shin Byung, dia harus memutuskan apakah dia ingin menerima panggilan sebagai Mudang atau hidup dengan penyakit. Jika dia menerima, ritual inisiasi Naerim Kut (ritual masuk ke dunia Mudang) menyembuhkan penyakitnya.