Pada suatu hari di Kerajaan Bulan, hiduplah seorang Raja dengan ketujuh putrinya yang cantik jelita. Biasanya kalau kerajaan tentu ada rakyat jelata, yang kendati tidak dihitung dalam kelas sosial, namun "lukisan" tentang mereka: dengan pegunungan, matahari, dan pohon kelapa yang ditiup angin--- menginspirasi setiap orang yang ingin merasakan nikmatnya saujana kehidupan, kebudayaan yang dirayakan, dan kepuasan lahiriah bagai petani-petani usai mencangkul pulang ke balik malam, menikmati chicha (sejenis tuak) lalu tidur dengan pulas--- bagaimanapun mereka tetap rakyat jelata.
Seperti di tanah Jawa yang memiliki dua stereotipe masyarakat, yang sama-sama Jawa namun punya karakter antropologi yang berbeda: masyarakat di pusat Keraton dan masyarakat pinggiran di luar Keraton. Logikanya, dari pusat ke pinggiran, kejawaannya mengalami degradasi, 'Jawa ngapak'.
Demikianpun di kerajaan Bulan. Gambarannya seperti beberapa denah candi, semisal Candi Plaosan Lor--- Kuil Buddhis di Jawa Tengah, Candi Sewu, maupun Prambanan. Ibarat di candi, tempat suci berada di tengah dikelilingi candi-candi kecil dan stupa, demikianpun tata kota pulau Jawa yang bergerak dari Keraton (pusat) menuju lingkaran paling luar mancanegara (daerah-daerah luar).Â
Singkat cerita, hubungan antara mereka yang di pusat Kerajaan dan yang di pinggiran kerajaan tidak boleh ada titik temu horizontal (khususnya berlaku di zaman kerajaan Mataram).
Suatu ketika, seorang pemuda dari luar kerajaan (artinya rakyat jelata), diundang memainkan seruling di hari ulang tahun Raja. Pemuda itu bernama Punguk.Â
Rupanya kehadiran Punguk dalam jamuan malam itu memikat banyak tamu. Tidak terkecuali Sinta, salah seorang putri Raja, yang sesekali secara sengaja mengamati, hingga mata Punguk pun jatuh tepat di arahnya.Â
Punguk yang lekas tahu diri bahwa tidak boleh ada titik temu horizontal antara Dia dan keluarga kerajaan langsung menunduk dan mengalihkan perhatian, "Tidak, aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Cinta itu seperti bendungan yang bila dilubangkan sedikit, semua tembok penahan akan rubuh."
Namun namanya jodoh, tidak bakal ke mana. Usai pertunjukan, Sinta menghampiri dan mengajak Punguk sekadar gobrol pribadi, di taman tengah. Tahu-tahu belum sempat ngobrol bibir Sinta sudah mendarat di pipi Punguk yang agak berminyak. Punguk yang kaget dipenuhi dengan kebahagiaan, segera tersenyum, namun menyimpan kegetiran, siapa tahu malam ini adalah yang terakhir baginya.
Dan memang benar. Kelakuan dua anak remaja itu diketahui oleh Raja, ayah Sinta. Raja murka. Malam itu juga ia menyuruh beberapa pasukan kerajaan mencari Punguk untuk dibunuh. Memang namanya titah Raja bukan panggang jauh dari api, namun yang langsung diamini.Â
Para pasukan memburuh Punguk yang saat itu menenangkan dirinya dengan bercerita di tepian telaga Zaga Warna. Punguk yang sedang memandang dengan senyum wajah jelatanya di air telaga yang tenang, tiba-tiba dihantam dari belakang, dianiaya, ditelanjangi, dan ditikam hingga tewas.Â
Para pembunuh yang menyadari kondisi Punguk yang sudah tak bernyawa langsung membuang mayatnya di telaga yang sampai hari ini tidak pernah ditemukan.
Yang ada hanyalah tubuhnya yang selalu mengapung ke permukaan. Bahwa setiap hari pada kulit-kulit Punguk tumbuhlah jamur yang lama kelamaan berubah menjadi burung-burung. Guna melepas kesedihan mereka, burung-burung tersebut pun terbang ke bumi. Setiap kali mereka teringat akan Punguk, mereka terbang ke bulan.Â
Sayangnya sudah tidak bisa lagi, karena Raja telah menancap mantra yang menghalangi burung-burung itu sampai di bulan. Raja hanya ingin melindungi Sinta dari cinta yang tak semestinya bersemi.
Kisah inilah yang menjadi cikal bakal peribahasa "Bagai Punguk merindukan bulan", berangkat dari Burung Punguk (Latin: Ninox Scutulata) di dataran Malaysia, yang hanya beraktivitas di malam hari, dan memiliki postur tubuh seolah-olah menghadap ke bulan.Â
Kata orang Malaysia, Burung Punguk adalah sejenis burung hantu yang tampak berharap terbang ke bulan, sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukannya meskipun ia bisa terbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H