Di dataran di bawah kota abad pertengahan berdiri basilika Our Lady of the Angels abad 16, dibangun di atas kapel kecil yang dikenal sebagai Portiuncula tempat tinggal St. Fransiskus dengan sahabat pertamanya dan tempat ia meninggal pada 1226, Asisi. Arsitektur megah dan spiritualitas kemiskinan menjadi pengingat bahwa budaya membawa iman melintasi waktu. Di atas altar terdapat lukisan Maria menyetujui Firman Tuhan. Dalam Kabar Sukacita versi Ilario dari Viterbo (1393), malaikat itu berlutut dengan hormat sementara perawan Maria berpaling dalam kebingungan dan ketakutan, satu tangan tergantung di udara.
Fitur lukisan abad pertengahan ini menunjukkan Maria dengan sebuah buku. Menurut tradisi, buku itu adalah kitab Yesaya 7:14, tentang anak dara yang mengandung seorang putra. Tradisi lain menunjukkan Maria sedang membaca pembukaan kitab Kejadian. Dia mendengar 'Ave' Gabriel membalikkan nama Hawa, 'Eva'. Sebuah permainan kata tentu saja, tetapi yang lebih dalam, cerita ini adalah tentang pengalaman wahyu, sebuah peristiwa dalam bahasa yang membutuhkan tanggapan aktif pendengarnya. Lukas memberi tahu bahwa Maria 'mempertimbangkan dalam hatinya salam macam apa ini' (1:29)--- 'dialog'. Dalam agama Kristen, iman dipanggil oleh Firman Tuhan yang, masuk jauh ke dalam ciptaan dan seluruh realitas manusia, memungkinkan keintiman kolokium, percakapan, seperti antara teman akrab dan bahkan kekasih.
Maria lalu membawa ceritanya kepada saudarinya Elisabet. Menanggapi ucapan-ucapan gembira Elisabet, Maria mengucapkan Magnificatnya, yang muncul tiba-tiba, seolah-olah dari aliran bawah tanah yang tidak terduga. Memang iman bukanlah intuisi semi-gnostik, sekilas esoterik. Itu sudah ada dalam tindakan Maria.
Masih tentang Asisi. Ada sesuatu yang tak lekang oleh waktu, tetapi -secara paradoks- bahwa keabadian dibawa sepanjang zaman dalam budaya. Gambar-gambar Kabar Sukacita, dari usia berapa pun, diambil melalui bahasa Perjanjian Lama, dikonfigurasikan ulang oleh Lukas untuk mengungkapkan keyakinannya bahwa Allah di dalam Kristus sedang membawa segala sesuatu menuju kepenuhan.
Jika iman bukanlah gnosis pra-linguistik, mereka yang tidak mengulangi bahasa itu tidak dapat berpartisipasi dalam kebenaran yang ditunjukkannya. Tapi justru itulah yang tidak bisa kita katakan, karena berisiko mereduksi bahasa ke bentuk luar yang memisahkan isi iman dari penyingkapan Tuhan. Sementara iman Kristen membuat klaim kebenaran yang tidak secara langsung dimasukkan ke dalam klaim analogi oleh tradisi agama lain. Patut diketahui, Injil adalah janji sebelum menjadi pesan; Ia adalah struktur naratif cerminan Roh sebelum menjadi wacana yang diilhami Roh.
Fokus pada kehidupan Roh yang membuka ruang kontemplatif Gereja ini dapat dianggap sebagai salah satu warisan paling penting Dei Verbum yang mengalihkan perhatian kita dari 'apa' wahyu menuju 'siapa'. Ia tidak hanya bertanggung jawab atas sintesis teologis baru tetapi juga sebagai perenungan tentang pengalaman Gereja dibentuk dan ditransformasikan Sabda. Apa yang dimulai dengan Kabar Sukacita saat Maria menanggapi perkataan Gabriel berlanjut di mana pun dan kapan pun Gereja menemukan dirinya merenungkan Sabda Allah.
Pada puncak Perang Salib V, 1219, setelah pertempuran Damietta yang menewaskan sekitar lima ribu orang Kristen, Fransiskus mengunjungi Sultan al-Malik al- Kamil. Niatnya adalah mengubah Sultan menjadi Kristen. Namun, sebagaimana kita tahu, Fransiskus gagal tetapi Sultan jelas terkesan oleh kelembutan sikap dan kata-katanya. Mereka lalu berbicara bersama tentang iman dan perdamaian--- satu-satunya pertemuan yang mungkin antara Muslim dan Kristen terjadi di medan perang.
Mungkin itulah asal muasal sentimentalnya yang mengagumkan. Iman mungkin sangat sering mencari dan berharap menemukan keseimbangan pribadi. Tapi hidup di tengah kata-kata tidak pernah langsung. Bukan karena kata-kata itu sendiri secara inheren tidak stabil, seperangkat penanda yang selalu berubah, tetapi proses berbicara dan mendengarkan, membaca dan belajar, berdoa dan merenung, membuka kemungkinan baru dan konfigurasi baru. Semua ini terlibat dalam proses dialog - yang, dalam terang Dei Verbum, memerlukan perjumpan dengan Firman Tuhan.
Kadang, kita cenderung berbicara tentang 'iman' seolah-olah itu adalah jimat berharga. Jelas apa yang dipercaya orang Kristen tidak sama dengan yang dipercayai orang lain. Narasi yang sangat teistik dalam Injil dan praktik etika dan meditatif antroposentris Buddhisme kuno menghuni ruang budaya dan bahasa yang sangat berbeda. Narasi sengsara Yesus dan kisah kematian Imam Hussein dalam pembantaian Karbala bukanlah versi paralel. Dan garis-garis avatar Hindu yang dipasang di sekeliling mandir jangan disamakan dengan patung-patung orang suci Katolik. Namun, tidak berarti bahwa umat Kristiani, Buddha, Muslim, dan Hindu tidak dapat berbicara satu sama lain. Mereka bisa dan mereka melakukannya. Mereka mungkin membaca dunia dengan cara berbeda. Maka tepat menyebut mereka 'umat beriman', bukan karena mereka semua ada dalam beberapa bahasa agama yang sama tetapi karena ruang kontemplatif di mana pergerakan dan tantangan bahasa dapat digambarkan sebagai benar-benar setia. Hidup dalam keyakinan dan pengharapan akan kepenuhan yang berada di luar kemampuan manusia untuk memerintah berarti berputar bagai mata badai di sekitar alam kehidupan dan cinta yang pantas dimiliki Roh.
Dalam pikiran Adven, iman tidak terpisahkan dari harapan. Bukan karena yang satu menjangkarkan kita dalam ingatan masa lalu sementara yang lain memungkinkan kita melihat ke depan dengan keyakinan futuristik tak pasti. Sebaliknya, disatukan dalam kebajikan teologis besar ketiga, kasih. Kasih memungkinkan kita sepenuhnya masuk ke dalam misteri Sabda Allah yang mengungkapkan diri--- hidup Allah sebagai misteri pribadi Tritunggal. Tritunggal memang catatan Kristen tentang Allah. Tetapi itu tidak menutup kemungkinan bagi orang lain yang beriman untuk berbagi dalam kehidupan batin Allah. Justru sebaliknya, karena jika Tuhan adalah Tuhan yang masuk jauh ke dalam ciptaan dan selamanya membentuk ciptaan untuk tujuan pemeliharaan Tuhan sendiri, maka tidak ada apa-apa dan tidak ada orang yang berada di luar jangkauan kasih Tuhan.
Para sahabatku! Itulah logika momen abadi yang digambarkan dalam Portiuncula.