Malam 26-27 Maret 1996, tujuh biarawan Cistercian Prancis diculik dari biara mereka di Pegunungan Atlas, Aljazair. Mereka ditemukan tewas 21 Mei 1996. Pada 2010, sutradara Xavier Beauvois mengubah narasi mereka menjadi film Des Hommes et Des Dieux, Of Gods and Men.
Prancis telah menginvasi Aljazair pada 1830. Sebagai kekuatan kolonial, mereka membawa bahasa, budaya, pemerintahan, dan agama Kristen. Ketika Aljazair merdeka pada 1962, jejak pengaruh Prancis ditinggalkan, termasuk biara Cistercian Notre Dame de l'Atlas di Tibhirine.Â
Komunitas biara itu semua orang Prancis, berjumlah delapan anggota. Mereka hidup di bawah pemerintah Aljazair, tenang dan hati-hati, mengerjakan tanah, dan mengembangkan kekerabatan dengan penduduk Muslim sekitar.Â
Sebuah desa bertumbuh di sekitar biara. Banyak penduduk desa dipekerjakan oleh para biarawan dan para biarawan merawat penduduk setempat, terutama pelayanan lansia Frre Luc.Â
Dalam film, Luc ditampilkan di kliniknya, pada perayaan lokal di desa dengan beberapa saudara biarawannya, mendengarkan serta memberikan nasihat kepada seorang wanita muda yang bertanya apakah dia pernah jatuh cinta. "Beberapa kali, ya. Dan kemudian saya menemukan cinta yang lain, bahkan lebih besar. Dan aku menjawab cinta itu. Sudah lama tidak bertemu. Lebih dari 60 tahun," jawabnya.
Selain itu, Pre Christian de Cherg memiliki hubungan khusus dengan Aljazair. Lahir pada 1937, dia telah tinggal di sana selama tiga tahun. Sebagai pemuda, ia telah melakukan dinas militer nasional selama Perang Kemerdekaan Aljazair (1954-1962).Â
Dia pernah diselamatkan dari pemberontak yang bermaksud membunuhnya, seorang petugas polisi setempat--- dua hari kemudian, polisi itu ditemukan dengan leher terpotong. Sejak saat itu dia merasakan kesetiaan yang dalam pada Aljazair. Dari keluarga militer dan aristokrat, ahli bahasa dan intelektual, Christian mempelajari bahasa Arab, agama Islam dan Alquran. Dia digambarkan dalam film oleh Lambert Wilson sebagai seorang dengan doa dan keyakinan spiritual yang dalam, dan tanpa kompromi.
Film ini akurat: para aktor bahkan dipilih karena kemiripan dengan biarawan asli. Sebagian besar film menunjukkan komunitas Cistercian menjalani kehidupan biara yang sederhana: bersama di Kapel, menyanyikan Mazmur, merayakan Ekaristi, berdoa dalam keheningan; dan juga bekerja dan makan bersama. Penonton ditarik ke dalam budaya monastik yang lebih kuat daripada film dokumenter, Die Groe Stille (Into Great Silence). Persaudaraan inilah yang ketika bahaya mengancam dan pilihan untuk pergi dibahas, para biarawan merasa terikat pada Notre Dame de l'Atlas.Â
Dulu, seperti sekarang, Aljazair sedang dalam kekacauan. Perang Saudara Aljazair (1995-2002), yang terjadi antara Pemerintah Aljazair dan berbagai kelompok Islam, menelan korban antara 50.000 sampai 200.000 jiwa. Korban jauh mencapai para biarawan: seorang gadis ditikam sampai mati di bus karena tidak mengenakan jilbab. Demikianpun sekelompok Kroasia yang bekerja secara lokal dipotong lehernya.
Pemerintah menuntut agar penjaga bersenjata ditempatkan di biara. Christian menolak, biara Kristen tidak boleh dijaga dengan senjata. Tetapi ketika kepala pemberontak setempat, Ali Fayattia, menyerang biara, bahaya bagi para biarawan menjadi akut. Dan dalam konteks bahaya inilah keberanian menyata: Christian menghadapi Fayattia.Â
Dia menegaskan, senjata tidak boleh dibawa ke dalam biara, "rumah damai". Dia juga menolak menyerahkan obat. Ketika Fayattia menyatakan Christian tidak punya pilihan, ia menjawab, "Ya, saya punya pilihan." Dan setelah itu, dia memberi tahu Fayattia bahwa "Malam ini berbeda dari malam lainnya, karena pada malam ini kami merayakan kelahiran Raja Damai, Sidna Assa (Tuhan Yesus): ini adalah Malam Natal".Â