Dear Sahabat!
Lama tidak bercerita. Tepatnya aku yang absen.
Kemarin aku bersama sekelompok calon misionaris berbagi tentang makna hidup setelah Pandemi. Mengikuti seminar Rm. Bagus, SJ dan Rm. Magnis, SJ: "Tuhan tidak mencintai kita", aku pun masuk ke kedalaman permenungan teologis, dan berupaya mengharagai pemahaman Christian Weidemann pencetus premis tersebut. Catatan Rm. Bagus, SJ menarik: kelihatannya premis Weidemann masih pada level episteme. Dia belum sampai pada kedalaman relasi dengan Allah yang kompleks.
Dalam suratku yang kesekian ini, aku tidak ingin menentang Weidemann. Aku mau berbagi tentang Jrgen Moltmann, teolog yang bila dipandang, kita seolah melihat satu teologi yang komprehensif--- namun tetap dalam kenyataan bahwa iman itu tumbuh dari proses yang tidak mudah.
Lahir di Jerman 8 April 1926, Moltmann: "manusia petani", dibesarkan di Walddrfer sebuah perkampungan tani di pinggir kota Hamburg. Sebagaimana kita tahu, Walddrfer amat dipengaruhi Helmut Hertling (1891-1942) dan rekannya Alfred Schr (1887-1937) seorang sosialis.Â
Moltmann dibesarkan dalam keluarga Protestan Liberal, dengan tipe pemikir bebas. Latar belakang keluarga ini membuat Moltmann menerima lebih banyak tentang Lessing, Goethe, dan Nietzsche daripada Alkitab. Singkatnya, Moltmann semasa kecil hingga remaja adalah seorang pemuda sekuler.
Pada masanya, Walddrfer telah berada dalam periode Nazi dan masa perang. Namun sampai 1933, belum ada seorangpun yang menjadi anggota Nazi. Masyarakat di perkampungan Hamburg masa itu masih mengerjakan apa yang ingin mereka kerjakan. Baru pada 13 Juli 1937, masyarakat Walddrfer digemparkan oleh kematian Alfred Schr yang dibunuh SA (Sturmabteilung) di kamp konsentrasi Fuhlsbttler karena mencoba menyelamatkan korban-korban Nazi.Â
Peristiwa pembunuhan Schr adalah awal dari penyiksaan Nazi yang diterima. Kendati pada masa itu orang-orang dewasa tidak menceritakan kisah kematian Schr kepada anak-anak, Moltmann sendiri sudah bisa merasakan karakter kejahatan di balik Partai Nazi.
Memasuki remaja, gambaran tentang kekejaman Nazi diperkuat dengan kematian Hartwig, kakak Moltmann---  yang sehari setelah kelahirannya mengalami kejang-kejang hingga radang selaput otak dan tidak mampu mengenal seorangpun. Hartwig dirawat oleh orangtuanya sampai berusia tiga tahun lalu dititipkan di  RS. Friedrichsberg.Â
Setiap Rabu, orangtuanya mengunjungi Hartwig namun Moltmann dan saudara-saudaranya tidak disertakan. Usai kunjungan, orangtuanya akan kembali dengan wajah yang dingin. Pada 1940, untuk pertama kalinya Nazi menjalankan aksi eutanasia, dan Hartwig meninggal dalam konteks ini. Kendati orangtua Moltmann meyakini Hartwig meninggal akibat radang paru-paru (pneumonia), alasan tersebut merupakan yang awam dipakai para penyandang cacat yang mati dalam eutanasia Nazi.
Para sahabatku, demikianlah dua pengalaman tidak langsung ini memberi Moltmann gambaran terhadap Nazi Jerman sewaktu anak-anak sampai remaja: kematian Schr dan Hartwig. Moltmann tidak pernah memproyeksi bahwa dua pengalaman ini nantinya mempersiapkan dia menjemput tragedi yang lebih besar lagi.