Untukmu sahabat dan wanitaku!
Begitu banyak kisah tentangmu yang telah kubaca. Kisah tentang wanita penghibur, budak seks militer Jepang selama perang Asia-Pasifik. Memang sulit menentukan jumlah persis mereka. Yang pasti, mencapai ribuan, dan 80 persen berasal dari Korea. Tentara Jepang menyebut mereka "wanita penghibur" karena berusia 12 sampai 20 tahun.Â
Mereka dipaksa, diculik, dibujuk bahkan ditipu melayani kebutuhan seksual militer Jepang. Inilah alasannya kisah wanita penghibur budak seks dalam PD II diidentikan dengan Korea.Â
Sahabatku! Sampai saat ini, dendam itu tetap ada dalam rawut wajah mereka. Lebih-lebih karena usai perbudakan seksual, rahim mereka rusak--- tidak bisa memiliki keturunan. Jangan kamu pikir aku mengarang cerita. Tidak sama sekali. Jangan pula kamu takut atau cemas, karena kebenaran harus diceritakan turun-temurun.
Sahabatku! Pengalaman mereka dibuktikan dalam penelitian Daniel Peres Daz, "Apuntes historiogrficos sobre las "mujeres de consuelo" durante la ocupacin japonesa de Corea (1910-1945)"--- dengan tema besar 'eufemisme' (eufemismos) atau jaringan perbudakan seksual yang luas dan brutal dari ribuan wanita Korea selama kolonialisasi Jepang 1910-1945.
Daniel menunjukkan berita terbitan El Mundo (2017) tentang dokumen video pertama pembuktian keberadaan "wanita penghibur" () Korea. Video yang dirilis pada 1944 itu menampilkan beberapa wanita bertelanjang kaki muncul berurutan sambil menjawab pertanyaan seorang prajurit Tiongkok.Â
Para wanita yang muncul dalam video tersebut, dua di antaranya muncul dalam foto-foto yang sebelumnya diterbitkan. Informasi ini penting, karena satu-satunya catatan tentang budak seks ini adalah foto-foto dan kesaksian para korban.
Kamu tentu ingin mengetahui alasan mengapa pemimpin-pemimpin militer Jepang menciptakan sistem "wanita penghibur". Sejauh yang kutahu ada empat alasan.Â
Pertama, mengurangi pemerkosaan warga sipil oleh angkatan bersenjata Jepang dalam perang di Cina atau "Rape of Nanjing": Pemerkosaan di Nanjing dalam periode enam minggu sejak 13 Desember 1937. Para pemimpin militer khawatir, kejahatan seksual militer Jepang akan membangkitkan pertentangan warga sipil.Â
Kedua, memuaskan keinginan jasmani tentara Jepang. Tidak seperti Amerika, dan tentara Sekutu lainnya, Pasukan Kekaisaran Jepang tidak memiliki cuti.Â
Ketiga, prostitusi yang dikontrol militer dianggap sebagai tindakan pencegahan efektif terhadap penyakit kelamin. Keempat, kontrol ketat tempat pelacuran oleh otoritas militer diyakini diperlukan untuk alasan keamanan. Mereka mencurigai para pelacur yang bekerja di dalamnya dapat dipakai sebagai mata-mata.
Sahabatku sepertinya kisah mereka tidak berhenti usai PD II! Itu adalah dosa modernisme, yang kini rupanya menjadi dilema post-modern--- tidak hanya dalam aspek budaya, agama, atau sosio-ekonomi, melainkan pula membuat teologi feminisme mengalami dilema epistemologi.Â
Dalam dilema inilah Hwa-Young Chong merumuskan Theology of the Broken Body: sebuah upaya mencari Kuasa Allah dalam tubuh yang rusak (2013)--- tubuh wanita oleh orang Korea disebut "maum". Jika kamu masih berkenan, akan aku ceritakan tentang arti kata maum.
Termin "Maum" () dapat secara kasar diterjemahkan sebagai tubuh--- mirip dengan kata bahasa Cina shin-chee (), untuk menjelaskan tubuh secara fisik.Â
Berbeda dengan shin-chee, maum dalam pemahaman Korea diambil dari kata kerja mau-u-da: kumpulan, menunjuk pemikiran-pemikiran, emosi, memori, dan visi yang membentuk satu diri manusia yang unik.Â
Singkatnya, maum adalah pusat subjektivitas wanita yang tak tetap, yang secara alamiah terus berubah--- tidak hanya mencakup siklus fisik: pertumbuhan payudara, menstruasi, kelahiran anak hingga menupause, melainkan pula historisitas, sosial, budaya, filosofi, dan lingkungan keagamaan.
Perkembangan pemahaman tubuh wanita ini membentuk stereotipe tentang apa artinya menjadi wanita: tanggung jawabnya dalam rumah tangga dan masyarakat, perilaku-perilakunya yang dapat diterima, termasuk pertanyaan-pertanyaan mendasar menyangkut kebahagiaannya.Â
Sahabatku! Idea tentang maum selain banyak yang menerima, menyesuaikan, dan mencoba menjadikannya karakter perempuan ideal, namun banyak juga yang menentang, menolak, bahkan meninggalkan gagasan ini dan memilih jalan hidupnya sendiri.
Sahabatku, wanitaku yang paling kuhargai! Kadang aku bertanya apakah Allah dapat ditemukan dalam tubuh yang rusak? Aku hampir yakin, kalau analisa atas maum dapat dijadikan sebagai visi baru perjuangan teologi feminis: untuk memahami bagaimana inkarnasi Allah termanivestasi dalam perubahan tubuh wanita.Â
Kamu pasti tidak menyangka bahwa Teologi Maum berangkat dari kehancuran, kekerasan, dan situasi ketidakadilan yang merepresi keseluruhan tubuh wanita--- "Han" (): ekspresi terdalam perasaan sakit, penderitaan, kepahitan, kebencian, kekosongan, viktimisasi, dan ketidakberdayaan yang tercermin dalam tubuh yang rusak. Ini adalah eksodus teologi publik ke ranah teologi eksistensial yang memperjuangkan hidup dengan mencari daya Ilahi dalam tubuh wanita yang secara 'adanya' dihancurkan, dieksploitasi, diperkosa, hingga dipecah-pecahkan.
Merenungkan tentang wanita penghibur Korea, membuatku teringat akan Nancy L. Eisland dalam "The Disabled God: Toward a Liberatory Theology of Disability" (1994). Ketika usianya masih 13 tahun, ia sudah menjalani 11 kali operasi tulang bawah pinggulnya. Kau dapat membayangkan, bahwa si malang ini selalu berharap, saat pergi ke surga ia masih cacat. Ia meninggal di usia 44 tahun (14 Maret 2010).Â
Sahabatku! Yang lebih menarik adalah soal pengalaman imannya akan Kristus dalam Ekaristi: "Yang kita kenangkan dalam Ekaristi adalah Allah yang cacat, yang secara fisik dianiaya, bangkit dari mati, dan hadir di surga dan di bumi-- yang cacat dan yang utuh. Kristus dihadirkan kembali di meja altar tidak hanya berciri persembahan rahmat spiritual melainkan pula secara psikologi menyimbolkan kehancuran seluruh tubuh Kristus".
Berbeda dengan Eisland yang mempromosikan dalam teologinya Allah yang cacat (bersumber pada pengalaman pribadinya dan bersifat alamiah). Teologi Maum mempromosikan Kristus yang tersalib sebagai bagian integral dari pengalaman 'penyaliban' para wanita penghibur Korea. Kondisi mereka pun tidak bersifat alamiah, melainkan dikondisikan. Maka corak pembebasan menjadi perjuangan yang hakiki: "Yesus dan wanita penghibur sama-sama meneriakan keadilan".
Akhirnya dalam surat ini, aku ingin kamu tahu dalam pelecehan, penganiayaan, dan perendahan tubuh wanita penghibur, salib Kristus dikenangkan: para wanita mengalami kekerasan melawan maum (tubuh) mereka sebagaimana Yesus melawan maum-Nya. Yesus berada di dalam pengalaman para wanita penghibur dan wanita penghibur menyambung drama penyaliban Yesus. Yesus dan wanita penghibur kemudian menjadi cermin bagi setiapnya untuk menunjuk pada penderitaan mereka.
Sahabatku dan wanitaku! Kuakhiri suratku ini dengan kalimat paling mengagumkan dari Hwa-Young Chong: "Tuhan yang menderita sudah mengetahui rasa sakit dan penderitaan dari kehancuran dalam tubuh, dan Tuhan ini tahu "jalan" menuju penyembuhan dan pembaruan". Aku hanya ingin, kamu dan aku belajar menghargai para wanita, khususnya yang tak bersuara, yang selalu terlibat dalam dialog bisu panggung sandiwara. Dan seperti Iwan Fals: "Lonteku dekap pada-ku, mari kita lanjutkan cerita hari esok". Mereka adalah kupu-kupu malam, menangis di dalam senyuman dan tersenyum di dalam tangisan, yang oleh Derrida, bisa mengajari kita cara berdoa dengan baik!
Yours Sincerely
Petrus Pit Duka Karwayu
Yogyakarta 22 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H