Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Surat Pentakosta untuk Ibu

1 Juni 2020   19:27 Diperbarui: 1 Juni 2020   22:34 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://sanyospwt.com/2020/05/

Untukmu ibu.

Aku telah membaca suratmu, kata hatimu "di ketepian sungai Babilon".

Setiap mimpi punya batas. Kadang pemahaman datang kala kita berhenti berlari karena talenta tidak dapat berbuah di tanah yang tidak ditaburi benih.

Ibu! Dalam bulan-bulan ini, dunia yang dikarantina dan terasing menemukan kembali simbol pelangi. Hanya iman yang melihat ini: ketika 'keilahian terasa menyembunyikan dirinya', Allah selalu bekerja. Ibu, tidak bosan-bosannya aku menyebut namamu. Kemarin kita bercerita tentang wabah yang mengekspos kerapuhan dan ilusi, ketidaksetaraan dan kegagalan. Bahwa wabah mengungkapkan banyak wajah kemurahan hati, wajah pelayanan, dan pengorbanan diri yang heroik. Pernahkah kamu membayangkan, ada tempat dalam kehidupan di mana manusia melayani orang lain yang nyaris tidak dikenal, yang terlupakan, yang lanjut usia, yang cacat dan terpinggirkan, korban kekerasan, dan yang tidak memiliki 'tempat berlindung'. Setiap hari mereka muncul dalam statistik dan berita. Seperti katamu, dalam Kristus angka-angka anonim menjadi wajah. Bukan wajah-wajah selebritas atau busana yang diciptakan oleh imajinasi dan seni, tetapi wajah orang yang kita sembunyikan.

Ibu! Aku suka melukis, tidak hanya gambar tapi juga kata-kata. Aku ingat pesanmu, "pekerjaan kita bukanlah melukis wajah cantik untuk dikagumi di galeri imajinasi yang higienis. Pekerjaan kita adalah memandang wajah duka dan harapan, dan menjadikannya lebih terlihat."

Saat merayakan pentakosta kemarin, aku menangis tersedu-sedu, meminta agar Roh Kudus membawaku melampaui virus berjumpa denganmu (koinonia). Pentakosta membawa kita ke Ruang Atas, memanggil kita untuk menerima Roh. Tetapi hari raya Pentakosta hanyalah permulaan. Kedatangan Roh ke dalam hidup tidak berakhir pada hari itu.

Sudahkah kamu mendengar kisah tentang wanita India Barat yang kehilangan suaminya di London karena kecelakan maut? Bahwa ketika polisi datang ke rumah wanita itu memberitahunya apa yang telah terjadi, wanita tersebut tidak dapat menerimanya: "Ia syok dan membanting-banting diri ke sudut sofa dan duduk di sana kaku dan tidak mendengar. Penampilannya mengerikan, dan dianggap mempermalukan keluarga, teman dan pejabat yang datang mengunjunginya. Namun suatu ketika seorang guru sekolah dari salah satu anaknya datang mengunjunginya, melihat bagaimana keadaannya, dan duduk di sampingnya. Guru itu menggenggam keras lengan wanita India Barat itu dengan kekuatan penuh. Kemudian ketika rasa sakit mulai dirasakan wanita India Barat tersebut, Guru itu menangis dan air matanya jatuh di kedua tangan yang terhubung di pangkuan. Entah getaran batin keibuan seperti apa yang dirasakan, wanita India Barat pun mulai menangis.

Ibu! Tahukah kau bahwa di malam pentakosta, aku bagaikan wanita India Barat yang malang itu; mengharapkan engkau datang dan merangkulku dengan kekuatan penuh seperti kala engkau merangkulku saat aku terjatuh dari pepohonan rindang. Maaf aku suka berkhayal. Kisah wanita India Barat itu lalu ditulis oleh John V. Taylor dalam bukunya The Go-Between God (1979). Bagi Taylor kisah itu adalah simbol kehadiran Roh Kudus, yang 'adalah kekuatan dalam otot-otot lengan yang tegang merangkul, lapisan keringat di antara pipi yang ditekan oleh tangisan, dan keringat di antara punggung tangan yang digenggam'. Ibu! Kehadiran Roh adalah 'sedekat mungkin, namun tidak mencolok (hlm. 243).

Tradisi Gereja meringkas karunia Roh Kudus menjadi tujuh, sebuah angka Alkitabiah, simbol kelengkapan atau kesempurnaan tanpa batas. Ini adalah bisikan Ilahi, tidak berwujud dan terlihat, tetapi dialami sebagai 'sentuhan'. Melalui mereka, Roh memediasi antara yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, antara kekacauan dan makna, antara waktu dan keabadian, terang dan gelap, yang diketahui dan tidak diketahui, kebenaran dan ilusi, dan antara misteri dan materi. Sebagai 'jari tangan kanan Allah', Roh menunjuk ke makna di balik peristiwa, membangkitkan pengakuan yang tiba-tiba tentang apa yang ada dan yang mungkin terjadi.

Ibuku! Sudahlah, jangan bersedih lagi. Dengarlah nyanyian indah, Veni, Sancte Spiritus, sebuah ekspresi bahasa puitis yang tenang, bahwa Roh membersihkan apa yang najis, menuangkan air pada apa yang kering, menyembuhkan yang terluka, menekuk dengan lembut apa yang kaku, melembutkan apa dingin dan beku, memperbaiki kesalahan dan membimbing mereka yang tersesat. Dalam sekejap intuisi, nafas inspirasi, Roh memberikan kemampuan untuk melihat jalan ke depan di saat kegelapan dan kebingungan menghampiri keluarga kita. Betapa energi cinta Ilahi membawa kesadaran yang tinggi akan dunia kita, dunia Allah, dalam segala ragam dan kerumitannya yang menakjubkan, dan tentang tempat di dalamnya kita berziarah.

Mungkin kamu sering melihat bahwa dalam liturgi, nyanyian rohani, dan ikon-ikon Kristen, gambar-gambar Roh Allah sering kali bersifat puitis juga: sinar cahaya keemasan, merpati, lambang kedamaian, janji Allah, pengertian dan inspirasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun