Dear Friend.
Kukirimkan lagi surat untukmu!
Suatu ketika seseorang bercerita tentang "Mariposa yang Tersesat" (2018), sebuah degupan realisme sosialis yang mengingatkan kembali arti "Cantik itu Luka" karya Eka Kurniawan. Namun ia tidak seperti Kurniawan yang konsisten. Sastrawan muda ini telah beralih menganut humanisme universal. Tak apa. Yang terpenting adalah Mariposa. Sudahkah kamu membacanya? Bila sudah, tentu ada kegelisahan ingin mengganti judulnya menjadi Mariposa yang terasing--- terasing dari generasinya, dari bangsanya, dan dari tubuhnya sendiri. Aku ingin mengisahkan kembali cerita ini padamu:
Mariposa anak yatim, gagap teknologi. Jangan menertawainya. Seorang siswa H.B.S pun pernah termangu takjub melihat tubuhnya sendiri di depan cermin kamar mandi yang kala itu baru ada dalam peradaban Indonesia, milik Herman Mellema. Namun istri Mellema si Ontosoroh cerdas. Mariposa mudah diperdaya dengan angka nominal. Mungkin karena miskin. Dia ditipu Sudjono, mesias palsu, tentang negeri susu dan madu, dan meninggalkan negerinya yang "tongkat dan batu" pun dapat jadi tanaman. Alih-alih punya jaminan masa depan, Mariposa menjadi budak seks. Cerita Mariposa diakhiri dengan nasehat bijak manusia frustrasi, "lebih baik makan singkong rasa cinta khas Indonesia daripada makan keju rasa cuka negeri beludak."
Begitulah ceritanya. Tapi yang ingin kuceritakan bukanlah kemalangan Mariposa, melainkan pemberontakan kolektif "nama-nama" dalam cerita. Kisah ini belatar di Indoneia. Maka kamu bisa menebak daerah-daerah Indonesia manakah yang sering menggunakan nama-nama asing bekas jajahan Spanyol-Portugal yang oleh Daniel Defoe adalah "nama-nama yang lalu diperhalus menjadi nama baptis". Juga kamu bisa menebak asal nama "Sudjono". Hebatnya penulis karya Mariposa adalah ketajaman insting sosialnya, bahwa pembagian secara geografis yang ilmiah sekalipun punya asumsi politik, alibi kekuasaan, termasuk citra kesenjangan. Aku akhirnya menduga, his pretend to against the orientalism inilah yang membuatnya kelabakan bercerita tentang perjumpaan di era digital. Syukurlah, kini ia telah kembali pada emansipasi awalnya. Astaga, kamu boleh tidak percaya sahabatku. Tapi dia sendiri yang mengatakan padaku bahwa saat ini ia tengah menekuni John Dewey.
Sahabatku. Pernah dalam suratku yang lain, aku bercerita bahwa pada masa lalu, ketika AS muncul sebagai negara adidaya, sekaligus model kapitalisme konsumen melalui strategi representasional seperti Hollywood, ada begitu banyak aktris dan aktor (Myrtle Gonzalez, Dolores Del Ro, Lupe Vlez, dsb) Amerika Latin yang hijrah ke sana. Sayangnya, stereotipe Latin sebagai yang sensual dan kriminal, mengubah mereka dari peran utama menjadi hanya sebagai penggoda dan bandit. Bahkan di tahun 1996, orang yang beraksen Latin dianggap mustahil berperan dalam "Romeo dan Juliet" karya Baz Luhrmann". Hhhhh...... Kamu pasti sudah bisa menebak maksudku.
Yah!!! Mariposa itu manusia Latin yang menyeka kaki Paman Samuel pencipta orientalisme dengan sentuhan kebudayaan. Bahwa ia mencakup cara penulisan, visi, dan studi yang diorientasikan, yang didominasi oleh imperatif, perspektif, dan bias ideologis yang tampaknya cocok untuk dirinya. Ia diajarkan, diteliti, dikelola, dan diucapkan dengan cara tertentu. Ia adalah sistem representasi yang dibingkai oleh seluruh kekuatan yang membawa 'Mariposa' ke dalam pembelajaran Negeri Asing, kesadaran Negeri Asing, dan kemudian, kekaisaran Negeri Asing. Edwar Said menyebut, 'Mariposa' sebagai mazhab penafsiran yang materinya adalah Timur, peradabannya, masyarakatnya, dan daerahnya. Penemuannya yang obyektif  dikondisikan oleh fakta bahwa kebenarannya disampaikan oleh bahasa, diwujudkan dalam bahasa, dan menjadi kebenaran bahasa. Nietzsche berkata "pasukan bergerak dari metafora, metonim, dan antropomorfisme" -- hubungan manusia, yang telah ditingkatkan, diubah, dan diperindah dalam puisi dan retoris, dan yang setelah lama digunakan tampaknya tegas, kanonik, dan wajib bagi orang-orang, lalu menjadi kebenaran ilusi bahwa manusia lupa  ia adalah apa adanya. Tidak heran jika Mariposa akhirnya sadar "Aku Kupu-kupu yang tersesat! Aku mau pulang."
Sahabatku. Rasanya sudah cukup bagku. Bahaya bila berlama-lama bercerita tentang Mariposa. Namun sebelum kuakhiri surat ini, aku ingin bertanya: pernakah kamu mendengar arti "basar"? Basar adalah termin Ibrani yang berarti daging yang non dualistik, mencakup fisik dan spiritual. Maksudku, seorang perempuan yang menjual tubuhnya sejatinya menderita fisik dan spiritual. Mungkin inilah yang sebetulnya dimaksudkan penulis Mariposa. Membaca tulisannya, aku ingin mengajaknya ke tempat hiburan para pelacur yang menangis di pinggiran kali Jode saat bangunan mereka digusur. Yang kalau setiap kali kaum Adam datang dengan iba, mereka akan cepat-cepat menyeka airmata dan tersenyum dalam tangis, "hanya 75.ooo rupiah" sahut mereka beramai-ramai. Hingga dituduh sumber kedosaan Adam selama berabad-abad, dan mungkin selamanya. Sahabatku! Kuakhiri suratku ini dengan sajak Rendra kesukaanmu:
Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban
Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Saudari-saudariku
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.