Cerita Sampingan
Sampai saat ini aku sendiri masih binggung, mengapa kami begitu akrab. Mungkin dia telah menceritakan kepadamu. Sewaktu aku melanjutkan studiku di Yogyakarta, aku berkenalan dengan abang-abangnya; Siga, Sius, Aldi dan Vinsen. Kami amat akrab. Banyak berdiskusi dan lama kelamaan mereka mulai menganggapku sebagai saudara sendiri. Terkadang saya heran mengapa mereka cukup lemah dalam kelas. Pernah juga suatu ketika kutanyakan pada seorang teman yang juga sekelas.
"hehehe.... mungkin saja mereka tidak memiliki suasana rumah yang tenang. Ngak bisa belajar!"
"Kok bisa, maksudmu?" timpalku
"Mereka itu masih ngontrak. Kontrakan mereka itu adalah tempat penjualan bunga. Bayangkan saja sewaktu aku ke sana, lagi duduk-duduk, eh tiba-tiba para pelanggan datang. Keluar-masuk, masuk-keluar, dan seterusnya. Saya kadang berpikir di kos-kosan mungkin lebih baik, kita bisa mengurus diri sendiri."
Saya jadinya terbawa penasaran setelah mendengar jawabannya. Saya harus mengenal mereka secara dekat. Bukankah sahabat berarti juga mengenal secara menyeluruh.
Rumah mereka rupanya berhadapan dengan sebuah pasar tradisional. Pasar itu aku tahu persis karena pernah juga kutuliskan pasar itu sebagai referensi pasar dalam cerita-cerita sastra. Namun satu yang tidak kuketahui, bahwasannya di depan pasar itu ada sebuah rumah yang di belakangknya terbentang tanam-tanaman anggrek. Tapi rumah itu kelihatan selalu ditutup. Rumah mereka. Saat itu aku masih tahun pertama di Yogyakarta. Lama-kelamaan barulah kusadari kalau-kalau hampir semua rumah di Kota Toleransi ini semuanya dalam keadaan tertutup. Bahkan dipagari.Â
Mungkin juga tidak semuanya, namun apa artinya hitungan jari. Apakah ini yang dinamakan scene narasi perkotaan? Aku heran, dulu menurut ibuku, di zaman Orde Baru keamanan terjamin. Kehidupan bersama tidaklah jua dilihat sebagai ancaman. Sayangnya, kebebasan tak ada. Mereka wajib mengikuti upacara bendera, kalau ingin selamat dari incaran hansip kampung, dan lain sebagainya.Â
Kini ada kebebasan, namun tak cukup menjamin keamanan. Orang hanya berjalan saja sudah dicurigai. Mungkin inilah konsekuensi seni hidup menjadi orang asing di dunia modern. Kita merokok bersama di Warkop, namun tak saling menegur. Syukurlah aku masih punya mereka, orang-orang yang mendiami rumah anggrek itu.
Singkat kisah kami mulai akrab. Rumah mereka pun telah menjadi rumah kedua buatku. Bahkan sampai mereka mendapat rumah sendiri yang jauh lebih baik. Setidaknya untuk belajar. Dan saya sendiri sempat hadir dalam peresmian rumah mereka yang tepat di belakang kampus. Suatu waktu, ada tugas perkuliahan di kampus.
"Brow, sore diskusi yuk di rumah?" pinta Siga yang cukup akrab denganku.