Dalam menerangkan tentang "Oddities of Planet Earth" Henry A. Garon memberikan sebuah ilustrasi yang sangat menarik. Ilustrasi tersebut berkisah tentang seorang visitor yang belum pernah mengalami gaya gravitasi. Setelah ia mengunjungi Bumi, ia lalu kembali ke planetnya dan menceritakan pengalamannya ke Tok (tokoh ilustrasi) tentang segala yang ia lihat dan alami di bumi.
Banyak hal yang ia ceritakan, mulai dari aktivitas manusia yang bepergian dengan sebuah benda mirip boks bergerak yang mereka sebut "cars", tentang ragamnya hewan serta tetumbuhan yang bertunas di bumi: while they are growing, most of these plants expand outward, upword, or away from the earth. Singkatnya sebuah narasi tentang sebuah keteraturan tatanan di bumi yang dimungkinkan terjadi akibat gaya gravitasi.
Kisah ilustrasi Garon memberikan suatu inspirasi yang dapat dipergunakan sebagai sebuah paradigma dalam memandang tatanan bumi. Seorang visitor asing datang ke bumi dan melihat segala aktivitas makhluk hidup di bumi. Segalanya bertumbuh dan beraktivitas untuk menunjukkan suatu perbedaan yang tidak dimiliki oleh planet lain.Â
Hanya di bumilah kehidupan, pergerakan, bahkan kepunahan, dan penciptaan selalu terjadi. Bumi akhirnya menjadi rumah bagi seluruh makhluk hidup. Berkaitan dengan bumi sebagai rumahlah, kita akhirnya berhasil menerjemahkan maksud Ernst Haeckel (1834-1919), seorang biologist berkebangsaan Jerman akan arti hakiki dari ekologi: "The prefix 'eco' derives (as does 'ecu') from the Greek oikos, meaning house, home, heart..., logos for its part refers to study of, treatise on, etc."
Dari arti etimologis inilah, ia memberikan sebuah konsep baru akan ekologi: acceptance and situation of human beings as part of the network of relationship of living organsm, inasmuch as they interact in either a 'hostile' or a 'friendly' fashion with their living surroundings. Â
Akhirnya, kita pun dihantar pada sebuah paradigma yang baru, bahwasannya manusia sesungguhnya adalah Bumi. Ia menjadi bagian integral pentahtahan rumah Bumi, dan itu bukan hanya secara parsial melainkan secara holistik. Persoalan subjektivitas modernisme, ataupun persoalan gagal paham atas teks Kitab Suci kristianisme sudah dianggap tak relevan lagi untuk dituding sebagai biang kerok, toh nyatanya hanya untuk mencari sebuah legitimasi. Mengutip apa yang sempat dikatakan oleh L. Boff:
.... human beings are in no sense above Earth. They are not wandering pilgrims , passers-by coming from else where and belonging to other worlds. No: as homo (human), they come from humus(fortile soil); they are Adam (which in Hebrew means 'child of earth'), born from Adamah (life-giving Earth); they are sons and doughters of Earth. Even more, they are Earth itself, which at an advanced stage of its evolution begun to feel, to think, to love, and to worship. Never again can human consciousness lose sight of the fact that we are earth. . .
Sebetulnya persoalan ekologi menghantar kita untuk membaca kembali segala interpretasi teks maupun dimensi etis kita, yang telah terlanjur ditafsir secara sepihak. Refleksi biosentrisme yang ekologis menawarkan kita sebuah perubahan mentalitas bahwa manusia tidak lain dan tidak bukan adalah bumi sendiri, ia lahir dari rahim bumi sama seperti ciptaan yang lain.Â
Pertanyaannya, mengapa manusia harus berteriak tentang krisis ekologi, bila ia adalah bagian dari pencipta krisis ini? Ketakutan terbesarnya adalah manusia lalu bersikap naive, 'meneriakan protes atas apa yang sedang memprotes dirinya sendiri, Bumi".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H