Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Walet di Kota Seribu Pintu

14 Februari 2019   08:04 Diperbarui: 14 Februari 2019   08:12 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Saya berpikir, jika Indonesia adalah sebuah bangunan, maka seribu pintunya adalah masyarakatnya yang plural, jamak akan budaya dan adat istiadat. Bahkan menurut Denys Lombard, di dalam budaya dan adat istiadat yang jamak di Indonesia sendiripun selalu plural di dalam dirinya, mengalami konstelasi yang berkembang di dalam peradaban bangsa.

Misalkan saja, budaya kasta Jawa dipengaruhi oleh Hinduisme yang membentag kain peradaban kita. Selanjutnya Para pedagang Arab masuk dan menyebarkan Islam yang dengan sistem egaliter mempersiapkan jalan bagi masuknya modernisme. 

Tidak berhenti di situ, egalitarianisme Islam kemudian diperteguh oleh Kristianitas lewat jalur pendidikan (Nusa Jawa: Silang Budaya, 1996). Tak terkecuali Cina serta India yang menjadi ansestor kita dalam kebudayaan.

Maka sebetulnya, bila di zaman ini banyak tema toleransi diusung, sebetulnya bukan sebagai antisipasi konflik karena kita berbeda, melainkan karena kesadaran bahwa di dalam diri kita sendiri sudah mengandung pluralitas. 

Maka paradigma dikotomi tersimpulkan sebagai demagogi, karena justru mengkondisikan rakyat Indonesia untuk memiliki claim truth yang sejatinya kebal akan detak persilangan budaya dalam bumi Indonesia. 

Masyarakat Indonesia dibentuk dari berbagai konstelasi budaya yang tidak tunggal. Bukankah semakin plural, kesadaran akan fungsi toleransi menjadi tuntutan?

Lawang Sewu memberi pemahaman bahwa masyarakat Indonesia bisa masuk ke dalam seribu pintu, namun tetap dalam pemahaman bahwa mereka Indonesia. Dan sebetulnya itulah negara yang ideal. 

Tidak ada dikotomi mayoritas-minoritas, Indonesia-Tionghoa, Barat-Timur. Hidup bernegara mengatasi dikotomi dan menjunjung egalitas yang mengakar pada kesetaraan martabat manusia yang dipahami dalam korelasionalnya. 

Sampai pada titik ini kita sadar, rupa-rupanya impian itu seolah-olah terlalu jauh. Ibarat kita meludah ke udara dan hanya membuang daya percuma.

Berbagai fenomena di abad milenial ini kemudian membuat banyak orang bertanya-tanya. Perselisihan yang didasarkan pada dikotomi, dikompori oleh demagogi penguasa serta politik yang abu-abu, menjadikan rakyatnya berjalan dalam seribu pintu di satu bangunan namun tidak saling mengenal. 

Fenomena ini layaknnya pemandangan para wisatawan pribumi yang datang ke Lawang Sewu. Mereka pergi untuk mencari pemahaman pribadi dengan relasi interaksi superfisial. Jarang kita melihat orang saling tegur-sapa, padahal semua pengunjungnya adalah pribumi, Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun