[caption caption="Banner Event My Diary. Foto dok. Fiksiana, Kompasiana."]
[/caption]Ini kisahku sekaligus curahan hatiku mewakili sahabatku hutan tentang, “Nasibku Tak Seindah Pelangi Selepas Hujan”. Kisah ini menghiasi hari-hariku dari sejak dulu hingga kini.
Dear Diary,
Dari dulu juga, sepanjang tahun ketika musim terus berganti hingga tahun berganti tahun nasibku tidak berubah lebih baik. Deraan demi deraan terus melibas mahkotaku berupa rambutku, tumbuhku. Nasibku begini-begini saja. Bahkan akar yang menjadi tumpuan aku berdiri tidak lagi kuat menahan beban dan penopang jiwa-jiwa seluruh makhluk.
Senyum sinar mentari berlawanan dengan rontoknya rambutku yang menjuntai melindungi para nafas segenap makhluk. Semua berkoar; panas membakar kulit, mengerinyit di siang bolong. Hanya tersisa semangat gontai enggan pergi ke sawah, enggan melaut, enggan untuk keluar ruang. Tetapi jangan salah, di ruang-ruang megah nan mewah tidak semua mereka merasa panas. Sejuk alami berganti penyejuk ruang tidak lekang oleh waktu karena tetap sejuk.
“Sindir menyindir terjadi di ruang debat, pencari pembenaran”; mencari, mengumbar, taktik jalan terang berebut, bersaing meraih luasnya berujung petaka menunggu waktu ketika belantara selalu di rundung duka nestapa.
Sahut menyahut menggiring, mereka mengatakan itu adalah bencana. Aku mencoba yang sesungguhnya apa benar bencana?. Bagaimana hutan belantara?. Alam raya?. Samudera raya?. Seisi bumi juga para satwa?. Yang Pasti nasibku tidak seindah pelangi selepas hujan yang memancarkan sinar warna-warninya ketika memamerkan keindahku tanpa dipaksa. Merasa?. Terasa?. Tersinggung?. Tersanjung?. Peduli?. Aku tidak tahu, hanya kalian yang tahu tentang aku.
Sengatan seberkas cahaya jika terbit hadir sepanjang hari, memang itu disukai mayoritas makhluk segala bernyawa untuk menghela nafas juga bertumbuh.
Wahai semua makhluk, sadar kah kalian?. Terutama manusia.
Kering kerontang ketika musim kemarau sudah pasti Aku yang merasa. Itu ungkapamu manusia. Ketika, tanah tandus (ter/di) bakar.
Air jernih yang juga air kehidupan enggan mengalir.