Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

 Jeritan Tangis Satwa Telah Menggema, Kepada Siapa Harus Mengadu?

14 April 2016   17:20 Diperbarui: 15 April 2016   09:32 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Paruh Enggang yang diburu oleh para pemburu_ foto 1. dok. Yayasan Palung, Nop 2014"][/caption]Tidak pernah henti-hentinya, jerit tangis satwa selalu berkumandang, bergaung, memantul menanti  untuk dikasihani juga diselamatkan. Itu tidak lain karena nasib mereka yang sudah semakin tidak nyaman dan aman dirumah ditempat dimana mereka berasal.

Jerit tangis itu sebagai pertanda sekaligus petaka. Petaka itu tidak lain sebagai sebuah ancaman yang tak jua pergi. Merekam jejak sebuah realita, melukiskan langkah gontai. 

Tercabik, terjerat, terperangkap hingga nafas lenyap selamanya. Ajal saban waktu tergadai, menegok hutan tanah tak lagi utuh oleh tangan-tangan jahil dan jua tangan tidak kelihatan namun siap membasmi.

Bangkai hingga tulang belulang acap kali dijumpai disetiap penjuru rimba raya yang tersisa. Tengok nasib gajah, harimau demikian juga adanya. 

Tak luput pula kepak sayap kian sayup terdengar, paruh rangkong (enggang gading, julang, tingang) tergeletak dinanti para kolektor. Entah berapa jumlah, namun tak sedikit.

Sorak sorai di belantara dinanti para pengintai yang tak segan mencabut hembusan nafas. Daging,Taring, kuku, cula, kulit, tengkorak, sisik itu idolamu para pencari pencabut nyawaku (satwa). 

Tak lekang oleh waktu, aku dan sahabatku sesamaku rimba raya (hutan) semakin meranggas. Rebah tak berdaya dari masa ke masa. Selalu menanti maut.

Dari dulu hingga kini terasa berbeda. Semua telah berubah. Tak banyak menegok, iba, peduli, menghargaiku. Hampir lebih separuh membiarkanku hilang tanpa harapan. 

Sebagai penyambung nafas, ranting-ranting, dahan dan batang tak kuat lagi jua enggan berdiri menopang, berbunga, berbiji dan berbuah menjadi asupan santapan kegemaranku semakin menipis menjelang terkikis habis yang tersisa.

Rebahnya sahabatku yang tak berujung hingga kini terus berlangsung. Terus tercabut berserabut dari akar hingga rambut. Kalut sampai kalang kabut hingga terkejut saat ini, mungkin jua nanti bila tak diperhati atau dihargai.

Hidup segan mati sudah pasti, itu nyata dan tidak bisa disangkal. Bila bertahan tak lagi banyak jarak yang kulalui, area bermain berubah menjadi padang gersang bersama ilalang. Batang berganti tunggul menunggu waktu disantap rayap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun