Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hutan Terkikis, Satwa Terhimpit dan Manusia Menangis, Mengapa?

14 Juni 2016   14:19 Diperbarui: 14 Juni 2016   15:07 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerusakan hutan dari sisa-sisa penebangan liar di wilayah Ketapang. Foto dok. Yayasan Palung.

Realita ini telah terjadi tentang hutan terkikis, kritis menjelang habis, satwa terhimpit hingga manusia pun menangis.

Setidaknya, gambaran itu jelas-jelas menjadi tanda yang tidak harus dipertanyakan lagi. Mengapa?. Sebab, hutan yang terkikis sejak puluhan tahun lalu hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal serupa menjadi derita dan ancaman bagi satwa karena habitat hidup satwa sudah semakin sempit terhimpit (berkurang). Demikian pula halnya yang terjadi menimpa tatanan kehidupan manusia akibat dari hutan terkikis dan satwa terhimpit.

Apa pengaruh besar hutan bagi manusia? atau pengaruh hutan pada satwa? Yang pasti, hutan sebagai penopang, penyambung nafas hidup segala bernyawa. Hutan sebagai penyedia oksigen, penangkal sedikit banyak  dampak yang disebut banyak orang sebagai bencana. Benar saja, imbas dari hilangnya luasan tutupan hutan berakibat pada banjir dan longsor acap kali muncul. Adanya hutan memberikan ruang bagi manusia untuk berwisata.

Selain juga hutan memiliki fungsi penyeimbang suhu/iklim. Hutan juga sebagai sumber air bersih alami yang manusia dan semua makhluk hidup lainnya. Akan tetapi, apabila hutan terus terkikis bukan tidak mungkin tatanan kehidupan menjadi tidak seimbang (rantai makanan) pasti akan terputus salah satunya. Pengaruh lainnya juga berdampak pada satwa. Hutan semakin terkikis, satwa akan semakin sulit betahan hidup dan berkembang biak (terhimpit/menyempit di rumahnya berupa hutan).

Dengan semakin sulitnya satwa/hewan/makhluk hidup untuk bertahan, tentu juga berimbas kepada manusia. Misalnya saja manusia akan semakin sulit menjadi produsen penyemai, penyebar biji (tanam tumbuh), mengingat beberapa dari satwa/hewan yang memakan buah/biji, setelah mereka pasti membuang atau melemparkannya dan itulah yang menjadi pohon (hutan) selanjutnya untuk keberlanjutan makhluk hidup. Bagaimana bila satwa semakin terhimpit? Sudah pasti, rantai makanan akan terputus.

Lalu, mengapa manusia menangis? Tidak bisa disangkal, rentetan peristiwa menyuguhkan tentang bagaimana manusia menangis meratapi apa yang terjadi akibat dari hilangnya hutan. Tengok saja ketika bencana banjir, longsor tiba, manusia merasakan dampak langsung. Tangis derita seperti kehilangan harta benda bahkan nyawa terjadi. Belum lagi ditambah dengan kejadian kebakaran hutan yang terus berulang dalam rentang waktu 2-3 tahun terakhir ini. Tangis derita lainnya pula terjadi ketika musim kemarau tiba, banyaknya luasan tutupan hutan yang hilang tidak cukup banyak lagi menampung daya serap air, tentu hal ini telah dan sedang terjadi di negeri ini.

Hilangnya atau terjadinya penurunan sejumlah besar luasan tutupan hutan (deforestasi dan degradasi hutan) memang menjadi penyebab utama yang tidak kunjung henti menerpa. Laporan dari WWF Living Forest Report, menyebutkan lebih dari 170 juta hektar hutan diperkirakan akan hilang sepanjang tahun 2010 sampai dengan tahun 2030, jika laju deforestasi tidak dihentikan, (sumber data dikutip di laman BBC Indonesia). 

Dari data tersebut, sudah pasti perlu adanya langkah tepat dari semua unsur (pemerintah, lembaga konservasi, korporasi dan masyarakat) untuk bersama-sama menyehatkan kembali hutan Indonesia dengan syarat tidak ada lagi ijin-ijin baru yang dikeluarkan oleh pemerintah, atau mencabut ijin yang sedang dan telah beroperasi jika terjadi/terbukti melanggar. langkah yang teramat penting lainnya adalah terus menerus melakukan penanaman kembali lahan-lahan yang terkikis/kritis. Selanjutnya juga perlu adanya pengawasan dan evaluasi ketat kepada pemilik modal yang melakukan eksplorasi di banyak tempat di wilayah Indonesia. 

Mampukah? Jika dijalankan sudah pasti mampu untuk mengatasinya dan hutan bisa sehat kembali. Dengan demikian pula, hutan bisa lestari, satwa bisa bernyanyi dan manusia akan aman terkendali dalam menjalani kehidupan secara berlanjut. Akan tetapi apabila tidak, sudah pasti hutan semakin tekikis, satwa akan terhimpit, hilang lenyap dan manusia akan sulit bertahan hidup dengan semakin merintih dengan isak tangis karena bencana. Semoga saja hutan masih boleh berdiri kokoh hingga lestari, satwa dan manusia bisa bernyanyi riang gembira dalam keharmonisan untuk saling menjaga dan menghargai sebagai sesama makhluk hidup yang diciptakan oleh Sang Pencipta.

By : Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun