Nafas hidup kini mulai gerah, resah, gelisah. Terkulai layu bersama kering kerontang. Dan seluruh hutan mulai menghangat.
Menghangat karena sengatan mentari bersinar. Karena bara api membara di segenap penjuru oleh tangan kelihatan dan tangan-tangan tidak kelihatan.
Rebah tak berdaya berupa ranting-ranting patah, terpotong/tersayat, terkelupas.
Bekas membekas, abu arang berterbang tersapu angin juga asap menuju penjuru negeri. Â
Tajuk-tajuk hijau pepohonan menanti disirami basah para pemupuk, menanti di tanam dihijaukan kembali. Â Tak sedikit yang rebah menanti dikasihani.
Tidak memaksa, tidak mendera, tidak menuduh, tidak mengeluh. Nyatanya kini hutan tidak setegak dulu berdiri kokoh. Tidak lagi sejuk, tidak hanya menghangat namun panas membakar.
Dedaunan berguguran, enggan tertahan diranting yang sedang bertumbuh kembang.
Banyak yang bilang hutan sebagai penyedia nafas untuk berlanjut. Pelindung juga penopang segala bernyawa. Penyedia aliran air yang melimpah bagi para petani dan masyarakat di sekitar sawah ladang.
Menghangatku, gerah- resah-gelisah kalian juga. Aku (hutan) merasa ada yang telah berubah. Aku kini telah jarang dijadikan pelindung, namun aku acapkali dijual kepada penampung yang terkadang egois tak sabar untuk panen tanpa ingat menyemai sebagai penyambung jaman. Jaman tak lagi banyak aku (hutan), meringis, terkikis menjelang habis itu yang kurasakan sekarang.
Harapku hanya satu, ada tumbuh sadar agar ada banyak  para penabur, penyebar dan pemupuk, perawat yang menyirami serta merawat dan menjagaku. Jika tidak mungkin aku akan semakin sulit berlanjut untuk bertumbuh dan melindungi.
Ketapang, Kalbar 9/9/2016