Aku rimba bersama samudera raya, aku malu untuk merayakan hari merdeka.
Malunya aku karena aku masih bertanya apakah aku sudah merdeka.
Aku bertanya, karena aku banyak ingin tahu, karena aku rasa;
Banyak yang aku rasa aku masih terjajah, terpenjara, dalam rimba raya, belantara yang penuh semai tetapi terkikis menjalang habis. Demikian juga aku samudera raya dihantam ombak tanpa henti, tetapi bukan itu, namun lebih dari itu. Bila aku hutan yang tidak lain rimba raya bersama satwa terus tergerus kian terhimpit karena investasi. Samudera raya bersama biotanya kian tercemar oleh ragam tingkah polah penghancur karang, peracik bom ikan bersama pukat harimau.
Apakah itu aku merasa merdeka?. Atau aku terus tergerus juga terjajah?.
Aku tidak bisa menjawab, aku hanya bisa bertanya.
Bertanya bukan untuk mengadu, mengeluh, atau menyalahkan.
Tanyaku itu tentang adanya aku sekarang, bukan kemarin.
Inginku, semua bisa merdeka. Termasuk aku bisa memastikan apakah aku merdeka.
Seingatku, hingga kini aku (rimba dan samudera raya) acapkali menjadi perebutan di tapal batas antar negara. Harapku aku tak dipebutkan, bila ada rasa peduli dari negeri ini untuk menengok nasibku, nasib kami. Bila boleh balutlah bilur-bilur sakit dan lukaku dengan obat mujarab sehingga aku boleh berangan-angan merdeka yang sesungguhnya.
Mengingat, bila aku (rimba dan Samudera raya) tidak lagi bisa bertanya tentu itu menjadi tanda tanya yang mengundang tanya.