Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Termenung, Merenung Menegok Nasib Penghuni Bumi

12 Januari 2016   15:59 Diperbarui: 12 Januari 2016   15:59 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto di 2015 suhu bumi meningkat 1 sampai26 derajat. foto dok. nationalgeographic.co.id

Termenung, merenung  menengok nasib penghuni bumi. Tanda nyata peristiwa terekam, tergambar dan terpatri ketika nasib penghuni dari ke hari semakin memprihatinkan keadaan dan keberadaannya.

Tidak salah, hantaman badai, gelombang, banjir sering menghampiri tidak mengenal siang ataupun malam. Termenung, seolah berpikir keras namun termenung dan hanya merenungi seketika akan kejadian-kejadian di sekitar kita. Alam raya tidak seindah dulu, kini berganti padang gersang bersama ilalang dan semak berduri.

Rimba raya, alam raya berganti wajah. Rambut yang panjang dan penuh mahkota, kini botak dan berganti model. Ragam rupa dan sisiran kini seperti rapi berjejer hampir di sepanjang jalan dibeberapa tempat seperti di Kalimantan dan Sumatera, mungkin di tempat lain juga ada.   

Rumputan dan paku-pakuan liar tumbuh melilit batang-batang baru tetapi bukan pohon. Cekungan Tanah dengan kedalaman tampak menganga di beberapa bidang perlintasan dan perbatasan yang tak jarang berujung konflik tak pernah berhenti.

Bumi menghangat, itu terasa dengan sengatan dan pancaran yang tak jarang pula membuat peluh keringat tiada henti. Tak bisa disangkal bumi semakin panas, emosi jiwa terkadang datang silih berganti saling tuding menengok kobaran dan bara api yang sulit padam atau dipadamkan.  

Termenung, merenung dan menegok tentang nasib bumi lantas apa yang bisa kulakukan?. Aku tidak hebat, aku tidak pemegang kebijakan, aku bukan pula penguasa atau pengusaha, pengacara atau siapapun. Aku bukan siapa-siapa. Rintihan, tangisan jika banjir, badai atau tanah longsor atau yang terbaru kabut asap aku tersadar ternyata indahnya bumi tidak banyak lagi yang peduli.

Aku hanya takut bila suatu saat nanti, bumi semakin panas dan lebih panas menyengat,  sesamanya yang mendiaminya. Jika bumi tak lagi utuh, maka aku pun melarat karenaku tak bisa berpijak dan sudah pasti sekarat. Aku bermimpi, bumi ini indah bagi semua untuk tempat berpijak, mudah-mudahan demikian pula dengan para penghuninya. Semoga saja demikian, agar ada bumi ini indah tidak saling menyakiti.

By : Petrus Kanisius ‘Pit’- Yayasan Palung

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun