Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Si Tuan Rumah yang Bakalan tidak Punya Rumah

20 September 2024   15:16 Diperbarui: 20 September 2024   15:59 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Riuh dan raung alat saban waktu berlomba-lomba memangkas, memotong-motong tajuk nan rimbun yang tak lagi rimbun yang menjutai tinggi itu. Si tuan rumah kalah dengan pendatang yang tak pandang waktu menghampiri dan merampas tanpa lelah saban waktu, siang hingga larut malam sampai datang pagi kembali.

Gaduh, riuh tanpa ijin permisi menghampiri tajuk-tajuk yang menjulang tinggi, tidak lagi berdiri kokoh tetapi mulai reot dan porak poranda karena didera saban waktu.

Si tuan rumah, siapakah itu? Dalam keluh kesahnya, tuan rumah tak lain tuan tanah penghuni tanah air, rimba raya, belantara yaitu ORANGUTAN. Orang hutan atau orang utan dan ada yang menyebutnya orangutan.

Si tuan rumah yang sepertinya lambat laun akan/bakalan tidak punya rumah. Ya, si tuan sudah semakin asing tinggal di rumah karena sering diserobot oleh kawanan yang tanpa lelah menyerobot tanpa lelah tanah dan air yang tak bertuan itu.

Si tuan rumah tampaknya sudah semakin sulit berdiam dan berkembang biak di rumah yang sudah semakin asing dan jarang ku jumpai. Pakan-pakan yang menjadi makanan sehari-hari berubah, tak jarang menjadi padang gersang atau padang ilalang yang berlubang dalam hingga tanam tubuh sejenis yang bukan beraneka ragam.

Aku sebagai tuan tanah semakin takut, rimbun berganti gersang. Padang ilalang dan gerasang tak mampu lagi menjadi peneduhku.

Suara kicauan burung bersamaku serta ragam satwa lainnya berubah bungkam, bungkam takut bersuara, suara bukan rebana atau nyanyian merdu lainnya. Melainkan, suara bising yang merampas; memotong serta menyisirku hingga ku rebah tak kuasa menahan tangis.

Aku semakin tak tentu arah. Rebahnya tajuk-tajuk yang beranekaram dan berjejer rapi itu, semakin membuatku tidak menentu.

Apakah aku masih bisa bertahan di alam ini? Entahlah. Bumi sebagai rumah bersama pun semakin panas mendera. Derita satwa dan tumbuhan terkulai layu. Itukah yang disebakan oleh alam yang tak bersahabat? atau kita yang semakin beringas dan egois tanpa memandang ekologis.

Terkikis menjelang habis, itu gambaran alam, hutan ini saat ini. Tajuk-tajuk terjerembab sebagai penanda si tuan yang bukan hanya orangutan, tetapi ragam satwa lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun