Bumi tak lain dan tak (dapat) disangkal sebagai rumah bersama. Sebagai rumah ia dinanti untuk disapa karena ia perlu rupa dari semua untuk peduli padanya.
Rumah bersama karena ia (bumi) selalu memberi tentang nafas yang sejatinya harus selalu harmoni.
Seperti hari ini dan kemarin lampau, bumi yang kini semakin menua nasibnya semakin tak tentu.
Derita (bencana) alam yang terasa tak lebih karena sejujurnya bumi sedang sakit. Sakit dan deritanya bukan karena yang lain, tak ada selain manusia yang juga tak cukup ramah kepadanya.
Kini, tak jarang bumi lewat alam bicara dalam bahasanya. Andai kita peka, tanda-tanda nyata alam semesta bicara terlihat dari apa yang kita rasa saat ini.
Merenda asa bagaimana agar ia bisa disapa dengan kemurahan, bukan sebaliknya dengan kemarahan dan amarah yang membuncah.
Sekedar pengingat kiranya, bumi tempat kita berdiam ini sejatinya tak tahu harus seperti apa mengadu, bumi tak bosan-bosannya memberi lewat nafas hidup alam rayanya, lewat birunya laut dan sepoi-sepoi segarnya angin.
Apa yang bisa kita manusia beri untuk bumi ini? Bertanya karena bumi yang selalu memberi kita tentang semua untuk kita agar kita masih boleh berlanjut hingga kini dan berharap hingga nanti dan selamanya. Â
Disapa? Dirawat? atau apapun itu setidaknya itu tujuan agar bumi sebagai rumah ini bisa sedikit bernafas karena ia tak sekedar renta namun lebih karena ia sering didera.
Disapa, sebab ia menanti kasih yang rela mengasih tanpa pamrih. Kami semua tahu, bumi sebagai rumah bersama, tetapi yang kami selalu bertanya bagaimana agar ia tetap menjadi bumi yang menopang bukan menjadi karang ibarat laut yang tinggal kenangan karena tak kalah seringnya pula dirusak oleh tangan-tangan tak terlihat. Dirawat, karena ia menanti, bukan meminta tangan-tangan tulus tanpa pamrih sebagai pemulih, siapa lagi kalau bukan kita semua.