Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Aku yang Tercerabut

24 Juli 2018   17:01 Diperbarui: 25 Juli 2018   09:21 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rambutku yang sering disisir, menjelang terkikis habis. Foto dok. Forest Watch Indonesia

Berpuluh-puluh tahun, ratusan tahun hingga ribuan tahun aku hidup dan tumbuh mengitari seluruh jagat raya. Rimba raya demikian orang menyebutku, aku disebut rimba karena aku (hutan) raya. Keadaanku tak lagi raya seperti dulu, karena aku sering tercerabut saat ini.

Tajuk-tajuk nan rimbun menanti asa kuasa sebab fakta bicara dalam bahasanya. Rimba raya tak lagi bertuan, pemilik dan penilik semakin sering beradu atau pula memadu kasih. Itu sebab aku terjerembab hingga tercerabut.

Sekonyong konyong aku rebah tak berdaya, lalu aku tercerabut lagi. Lagi dan lagi enggan pergi berlalu dari masa ke masa hingga kini.

Raung suara semakin sering mendera tanpa pilih kasih, aku dan saudara-saudariku bahkan anakku tak jarang berteriak menangis sembari rebah tak mampu berdiri kembali.

Suara-suara itu bukan suara alami kami. Deru suara lantang itu penantang menjemput maut kami dan sesama kami seisi rimba raya yang membuat kami tak lagi raya. Tangis dan ratapan pecah membuncah saban waktu hingga kapan berlalu. Aku dan saudara-saudaraku  tak tahu entah sampai kapan kah aku berhenti di rampas dan didera dengan cambuk bernama mesin pemotong yang tanpa lelah memotong, membelah, dan membuatku tercerabut.

Rambut panjang, menjuntai di atas kepalaku yang dulu rimbun nan indah menawan kini harus berganti. Kini, kepalaku bersisir yang telihat rapi, namun membuatku mudah mual dan muntah, tak jarang aku menangis karena sakit. Kutu-kutu yang mendiami di Rambutku  tak jarang disisir, ditata rapi tetapi panas membakar kulit itu yang ku rasa. Sisir-sisir  itu tak jarang pula membuat rambutku mulai bersih, tak jarang pula aku ditusuk-tusuk dengan jarum untuk mengambil sesuatu di kepalaku. Aku hanya hanya pasrah kepalaku sudah sakit parah.

Air tak lagi dengan mudah kuserap. Terkadang aku menangis dalam diam meliat alirannya deras mengalir tetapi bukan sebagai sumber penghidup, namun mara bahaya yang siap mendera. Saudara-saudaraku seisi sisa rimba pun bergegas pergi mencari jati diri tetapi melarat hingga dilayat karena mati tak berdaya karena merana tak lagi tempat untuk berdiam yang mana aku sebagai rumah dari mereka berdiam dan beranak pinak. Jumlahku yang tak lagi banyak menanti hilang lenyap dimakan jaman itu penyebab mengapa saudara-saudaraku lari tanpa arah, entah kemana mereka pergi dan lari menjauh dari ku seolah acuh kepada nasibku ini.

Tetapi aku tak bisa menyalahkan mereka, karena mereka pun penerima dampak bukan sumber dari penyebab. Aku selalu dinanti dan diperlakukan seperti ini (tercerabut).  Mengeluh dan mengaduh, mengapa aku diperlakukan yang rasanya tak hanya sakit namun lebih dari itu. Jika aku boleh mengatakan sesuatu : inilah adanya aku, diantara sengsara dan derita tanpa akhir. Aku hanya takut jika rambutku ini terus dicukur dan disisir hingga tak bersisa karena aku takut memakai minyak rambut dan kosmetik yang membuat kepalaku semakin gatal dan sakit kepala yang parah.   

Menerka, kira-kira hingga kapan nafas hidupku bisa bertahan dan berlanjut. mengingat jika nafasku berhenti karena tercerabut maka tak sedikit pula yang menerima dampak. Harapku hanya satu, biarlah rambutku terus tumbuh nan rimbun sehingga mampu menopang  segenap jiwa segala bernayawa.

Petrus Kanisius-Yayasan Palung    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun