Dua hal ini boleh dikata tentang (pro dan kontra) soal Guru Garis Depan (GGD) versus Guru Kontrak dan Honorer saat ini sedang mengemuka di daerah-daerah. Mengapa begitu?.
Tak salah kiranya bila dikata ada pro (setuju) pasti ada juga kontra (tidak setuju), hal inilah yang saat ini terjadi seperti cerita dari teman-teman yang kebetulan memiliki tugas mulia sebagai guru.
Pro-nya menurut pendapat saya, memang beberapa wilayah (daerah) di wilayah Kalimantan khususnya memang sangat memerlukan tenaga GGD sebagai salah satu cara/bentuk kepanjangan tangan dari pemerintah dalam hal misi membangun, memperbaiki kualitas, mutu pendidikan melalui Sarjana Membangun di daerah tertinggal, terpencil dan terluar (SM-3T).Â
Akan tetapi, tidak semua wilayah Kalimantan, terutama Kalimantan Barat (Kalbar) membutuhkan GGD, ini dikarenakan beberapa wilayah yang ada di Kalbar sejatinya telah tersebar tidak sedikit tenaga guru yang statusnya jika boleh disebut adalah Kontrak dan Honorer. Mereka (guru kontrak dan honorer) memiliki misi yang sama sejatinya. Seperti halnya di wilayah Ketapang, memang ada beberapa wilayah seperti Kecamatan Hulu Sungai memang membutuhkan/memerlukan guru karena ya, wilayah ini merupakan Kecamatan Baru di kabupaten.
Lucunya, di beberapa wilayah seperti Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua kebagian pula GGD. Ini menurut saya cukup aneh, mengingat wilayah Simpang Hulu dan Simpang Dua merupakan wilayah yang sebaran guru-gurunya sudah mencukupi karena sudah/telah ada guru kontrak dan honorer sebelumnya. Anehnya lagi, di wilayah kota kecamatan di wilayah tersebut malah dititipkan GGD. Mungkin juga terjadi di wilayah kecamatan-kecamatan lainnya.Â
Di wilayah ini pula, boleh dikata tidak tertinggal, terpencil dan terluar lagi. Sarana dan prasarana boleh dikata sudah mencukupi, sarana dan prasarana juga sudah cukup lancar. Mungkin jika GGD ditempatkan di wilayah-wilayah kecamatan (di kampung-kampungnya kecamatan) tidak menjadi soal, tetapi yang cukup lucu, di ibu kota kecamatan malah kebagian GGD.
Saya tidak bermaksud apa-apa, akan tetapi gundah gulana beberapa guru kontrak sempat terlontar sembari berseloroh ketika bercerita dan berdiskusi ringan sempat menanyakan, apakah nasib kami (mereka guru yang kontrak dan honor) akan tergantikan dengan adanya GGD yang datangnya dari pemerintah pusat. Sementara mereka (guru kontrak dan honor) hanya diangkat tugas oleh pemerintah daerah.
Pertanyaan dari beberapa guru kontrak dan honorer yang sengaja tidak saya sebutkan disini namanya sejatinya hanya ingin menutarakan nasib mereka sebagai warga setempat yang boleh dibilang secara Sumber Daya Manusia sudah memenuhi kriteria untuk mengajar bahkan sudah terbukti bertahun-tahun.
Dalam hal ini saya tidak menentang program GGD, karena intinya memiliki fungsi yang baik untuk misi memajukan pendidikan di Indonesia terlebih daerah-daerah tertinggal, terpencil dan terluar. Namun, yang menjadi koreksi adalah adanya pro-kontra (GGD VS Guru Kontrak dan Honorer) ini yang menjadi kekhwatiran saya. Â
Kekhawatiran tersebut jika boleh katakan, jika penempatan GGD di ibu kota kecamatan maka akan berdampak pada sebuah pertanyaan "guru kontrak dan honorer yang sudah lama mengajar" mau dikemanakan?. Fungsi dan penempatan tugas guru memang semakin diringankan tetapi, apakah sudah/telah sesuai ditempatkan di daerah-daerah tertinggal, terpencil dan terluar telah tersebar GGD secara merata?.
Semoga saja komunikasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah terkait guru garis depan tidak salah. Â Berharap, semoga guru garis depan dapat betah mengajar di daerah-daerah yang memang memerlukan mereka dan berharap kepada guru kontrak dan honorer dapat terus semangat untuk mengajar serta mendidik anak-anak di negeri Indonesia tercinta ini, karena kalian semua guru, kalian adalah pahlawan tanpa jasa yang sejatinya, yang paling mulia dan berjasa dalam membangun intelektual dan membangun bangsa.