Apabila dikata, mengurai benang kusut dan basah bukan hal yang mudah di tengah padang yang gersang dan berliku. Tak mudah berarti sudah semakin rumit dan sudah pasti sulit. Namun bukan berarti tak ada jalan.
Persoalan lingkungan (lingkungan hidup; tanah, hutan, air, mineral dan energi atau dengan kata lain biotik dan abiotik) tampaknya saat ini sudah semakin komleksitas (semakin mengalami keruwetan dan kerumitan) dalam tananan kehidupan semua makhluk hidup.
Kini, boleh dikata, persoalan lingkungan sudah sangat rumit. Ibarat benang kusut dan basah sudah semakin sulit ditegakkan. Persoalan lingkungan seolah tidak berhenti terjadi, dimulai dari sudah semakin terkikisnya luasan tutupan hutan, semakin berkurangnya jumlah satwa, semakin menumpuknya sampah-sampah di lautan bebas dan semakin rentannya hutan terbakar sepanjang waktu dai tahun ke tahun tentu ini menjadi persoalan yang tak bisa dipandang remeh dan tak boleh dibiarkan begitu saja.Â
Hal yang sama juga sudah semakin sering kita lihat, rasakan dan benar-benar terjadi. Contoh; banjir, tanah longsor dan beberapa sebab lainnya seperti kebakaran dan juga kekeringan. Istilah barunya mengatakan hal tersebut adalah bencana ekologis sudah semakin akrab terjadi pada masyarakat kita. Â Â
Rentetan peristiwa yang terjadi dan tidak bisa kita elakkan soal baru, ibarat ujian kita sulit untuk memprediksi soal-soal yang diujikan. Mungkin demikian juga halnya kita melihat dan merasakan cuaca yang tidak menentu (anomali cuaca)/ cuaca yang acap kali berubah-rubah tanpa bisa pastikan lagi saat ini, tidak seperti dulu. Pemanasan global itilah kerennya, panas sudah semakin panas bahkan di beberap wilayah tidak terkecuali di Antartika, es semakin banyak yang mencair, beruang kutub sudah semakin tak betah dan sulit, demikian juga dengan nasib para pinguin yang mendiami wilayah tersebut.
Yang sudah pasti dan nyata-nyata kita rasakan di wilayah hutan hujan tropis saat ini, musim sudah semakin membingungkan para petani, nelayan dan para pelaku usaha. Petani sudah semakin sulit memprediksi kapan saatnya menugal (bertani) karena sulit membakar karena faktor cuaca. Cuaca buruk semakin mempersulit para nelayan mencari ikan dan pelaku usaha transportasi lebih khusus udara dan laut mikir dua tiga kali  mengoperasikan transportasi mereka. Tentunya ini berdampak lngsung bagi jalannya perekonomian masyarakat.
Dilain sisi, hutan-hutan tak lagi berdiri kokoh menjulang tinggi, melainkan rebah tak berdaya terkulai layu akibat semakin luasnya pembukaan lahan yang juga berimbas bagi lingkungan sekitar terutama manusia dan satwa serta keberlanjutan nafas hidup nantinya.
Jika ditanya, mampukah?. Mampukah disini tidak lain setidaknya memperbaiki tata kelola lingkungan hidup yang sudah semakin kompleksitas tersebut sejatinya perlu dan dapat dilaukan secara bersama sebagai upaya untuk perubahan, komitmen, kepedulian, perhatian, kerjasama dan kebijaksanaan dari semua elemen terkait tanpa terkecuali, apabila tidak maka hampir dipasitikan benang kusut akan semakin kusut dan hampir dipastikan untuk menegakkan benang tersebut memerlukan waktu.Â
Tetapi dengan syarat tanpa adanya egosentral dari masing-masing pihak pula dalam rangka merawat dan memperbaiki bumi yang sudah semakin sakit. Mengingat tata kelola lingkungan hidup yang baik sedikit banyak akan memberikan secerca harapan dimasa datang jika kita semua mau (di/me)didik diri kita dari orang lain ataupun diri sendiri untuk semakin cinta lingkungan demi anak cucu nanti. Semoga...
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H