Tak salah kiranya bila sisa kini terasa semakin terabai atau terabai (kan), mungkin itu kata bila boleh untuk dikatakan.
Sejatinya disayang untuk keberlanjutan hingga nanti. Tetapi tidak disayang. Itu bukan tentang cinta kepada seseorang. Namun, tentang sisa-sisa yang tersisa dan sudah pasti tersiksa. Ini tentang kasih sayang kita kepada sesama juga semesta.
Sesama kita semua makhluk penghuni bumi, rumah penopang siang dan malam berupa tajuk-tajuk nan rimbun yang semakin botak alias menuju terkikis menjelang habis. Ini yang terjadi hari ini. Sejatinya sisa yang terjaga tak lagi terampas atau tergadai. Semua mata tertuju bila asap kerap mengepul, Â tanah bersisir rapi tetapi bukan tajuk-tajuk pepohonan yang berdaun berada diantara tengah tanah lapang gersang juga lubang menganga di jurang tepi menanti maut juga hidup mati para pengais rejeki.
Sesama yang tidak lain para satwa  berusaha menjadi penjaga, penabur menabur agar tajuk-tajuk masih boleh berdiri kokoh. Para satwa secara perlahan tanpa kerasan tak kuat terusir bunyi senapan api jua mesin gergaji yang jarang berhenti saban hari.
Namun apa boleh dikata, rimbun kini sulit dicari. Tinggal yang sisa-sisa dari yang tersisa harusnya menjadi perhatian dari semua andai boleh peduli bila ingin bertahan dan berlanjut hingga nanti lestari. Bilamana bila kita yang ada jika boleh menyelamatkan sisa-sisa dari yang tersisa itu, mungkin kita tak gaduh, tak rapuh, tak menetes derai air mata dan bencana sudah pasti tak ada melanda bila hutan tetap ada dan terjaga.
Sisa-sisa  dari yang tersisa ini jadinya kini;
Tajuk-tajuk nan rimbun kian (di/ter) pangkas, digerus hingga ditimbun
Nyanyian merdu para burung dan primata sudah semakin sayup terdengar karena bersembunyi
Sisa dari yang tersisa tak jarang menjadi kenangan dalam lamunan tanpa ampun
Menanti tuan para pencari rejeki yang selalu terlihat semakin mengabai yang tersisa ini
Belantara  luas nan hijau telah rata dan rebah tak berdaya terlilit hingga sempit menyempit