“Foto selfie bareng binatang peliharaan, terlebih satwa dilindungi justru berkontribusi mengajak kejahataan dan mengancam kepunahan pada satwa itu sendiri.”
Tidak bisa disangkal saat ini, kebanyakan para penyayang binatang dan komunitas acap kali memamerkan foto- foto mereka bersama binatang kesayangan atau peliharaan mereka (foto selfie bareng binatang). Namun sejatinya foto selfie bareng binatang peliharaan justru menuai ajakan atau malah mendukung kejahatan terhadap satwa itu sendiri, bahkan berujung pada ancaman kepunahan pada satwa itu sendiri, terlebih satwa dilindungi.
Sebuah pertanyaan tentu muncul. Ada apa dengan selfie bareng binatang peliharaan justru mengajak (mendukung), berkontribusi terhadap kejahatan satwa dan mengancam kepunahan terhadap satwa itu sendiri. Mengapa demikian?
Bila boleh dikata, foto-foto selfie tersebut terlihat dan nampang (hadir/muncul) di media sosial yang acap kali mendorong membuat ajakan kepada banyak khalayak yang tentunya sangat tidak seharusnya terjadi. Memang, foto-foto selfie tidak semuanya negatif. Akan tetapi, melihat maraknya kejadian atau peristiwa kejahatan terhadap satwa melalui perdagangan satwa di banyak media sosial sungguh sangat menyedihkan.
Tak jarang, perdagangan satwa tersebut berawal dari seringnya postingan foto-foto selfie bareng binatang peliharaan dan berujung transaksi jual beli. Memang, binatang peliharaan seperti anjing, kucing, ayam atau kelinci boleh/bisa dimaklumi. Sayangnya, banyak yang terjadi adanya transaksi jual beli (transaksi) binatang peliharaan melibatkan satwa-satwa dilindungi, langka (endemik). Banyak di antara penyayang binatang atau oknum komunitas yang dengan seleluasanya memamerkan binatang peliharaan mereka di tempat umum atau keramaian. Seperti contoh, ada yang selfie bareng ular endemik, orangutan, kukang, kelempiau, burung-burung langka, kadal atau iguana dan lain sebagainya.
Tentu saja, dengan semakin seringnya memajang foto-foto selfie bareng binatang tersebut berimbas pada kejahatan terhadap satwa dilindungi, hal ini ditandai dengan saling ketertarikan untuk rasa memiliki dan tak jarang pula ada transaksi-transaksi yang tentu saja menambah derita atau ancaman pada satwa dilindungi yang ada di habitat hidupnya di hutan. Ancaman ini tentu saja hadir dan muncul jika kejahatan-kejahatan baru muncul, berupa ladang penghasilan bagi para pemburu liar yang sengaja mencari satwa atau binatang untuk dijual bagi para penadah (penampung) binatang-binatang peliharaan tersebut yang mereka ingini.
Data dari Pro Fauna menyebutkan, setidaknya dalam rentang tahun 2015 ada terdapat 5.000 kasus perdagangan gelap terhadap satwa yang terungkap melalui media sosial. Gambaran jelas dari data ini tentunya boleh dikata sangat berhubungan dengan adanya permulaan atau berawal dari foto-foto selfie dengan binatang yang berdampak pada kejahatan terhadap satwa melalui media sosial terjadi.
Tidak berhenti di situ, foto selfie binatang juga menjadi penanda masih lemahnya tatanan kesadaran bagi para penyayang binatang yang memelihara dan memamerkan binatang. Menyayangi binatang tidak lantas memiliharanya ataupun juga memamerkan di tempat umum, terlebih binatang yang dilindungi. Mengingat, binatang atau satwa-satwa dilindungi habitat (tempat hidupnya) di hutan dan tidak untuk dipelihara.
By : Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H