Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kepak Sayap Kian Sayup Terdengar, Akankah Ini Menjadi Akhir Cerita Rangkong?

3 Maret 2016   14:44 Diperbarui: 4 Maret 2016   01:46 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Anak burung enggang yang dipelihara masyarakat-foto dok. Yayasan Palung, Sept 2014"][/caption]Dari Dulu sampai saat ini, acap kali burung enggang atau rangkong, kangkareng, ruik, tingang, tajak, julang  adalah beberapa jenis sebutan yang disematkan untuk burung endemik ini semakin jarang dijumpai di hutan, demikian juga mendengar riuh kepak sayap semakin sayup saja. Kini, kepak sayap 13 jenis Rangkong yang terdengar kian sayup terdengar karena beberapa sebab terjadi.

Capture data dari data postingan di mongabay.co.id. berita tentang Nasib Kelam Rangkong, Antara Perburuan dan Jasa yang Terlupakan

Sebab mengapa kepak sayap mereka jarang terdengar, tidak berlebihan kirannya disebabkan oleh berbagai ancaman yang terjadi di habitat hidupnya di hutan tropis seperti di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.

Beberapa penyebab dari kepak sayap kian sayup terdengar antara lain karena;

Hilangnya habitat (tempat hidup) berupa hutan sudah semakin sedikit akibat kalah bertahan untuk alih fungsi lahan. Tidak bisa disangkal, habitat hidup mereka berupa hutan semakin sempit atau sedikit banyak yang telah berubah menjadi perkebunan, pertambangan, pertanian dan pemukiman masyarakat skala besar.

Perburuan yang masif untuk pengambilan paruhnya menjadi persoalan (ancaman) utama mengapa burung ini semakin langka dan populasinya semakin menurun. Celakanya perdangan di pasar gelap secara online masih saja marak terjadi, akibat peminat yang semakin menjamur menampung.

Beberapa kejadian (kasus-kasus) yang terjadi tidak membuat jera pelaku, indikasinya karena hukum belum maksimal.

[caption caption="Paruh enggang disita. Foto dok. Data dari laman mongabay.co.id dan Indonesia Hornbill Conservation Society (IHCS)"]

[/caption]Data dari Indonesia Hornbill Conservation Society (IHCS) selama 2013, total sebanyak 2.343 paruh rangkong yang berhasil disita di Indonesia, di Tiongkok, dan Amerika Serikat, (data dikutip dari laman Antaranews.com). 

Rekam jejak ancaman populasi Rangkong (enggang) di Tanah Kayong (Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara, dapat dilihat disini.

Berkaca kepada tata peraturan undang-undang no 5 tahun 1990 tentang keanekaragaman hayati dan satwa dilindungi menyatakan tegas tentang sanksi. Namun, beberapa kasus yang terjadi belum membuat pelaku kapok atau jera. Hukum 5 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah, hampir dipastikan atau dirasa tidak (belum maksimal diterapkan). Kasus-kasus yang ditangani dipandang masih ringan (belum sesuai dengan patokan hukum). Kasus  perdagangan, perburuan, pemiliharaan masih  atau semakin marak saja terjadi dari tahun ke tahun.

[caption caption="Paruh Enggang yang diburu oleh para pemburu. foto dok. Yayasan Palung, Nop 2014"]

[/caption]Kegelisahan dan kecemasan akan keberadaan Rangkong diambang kepunahan semakin terlihat. Hutan yang tersisa kian menipis, berbagai langkah untuk menyelamatkan begitu gencar dilakukan. Apakah ini akan didukung dan menimbulkan kesadaran sepenuhnya oleh para pencari paruh rangkong yang semakin merajalela untuk tidak lagi memburu dan berdagang nafas hidup dan bagian-bagian burung endemik ini. 

Langkah tepat tentang adanya revisi UU no 5 tahun 1990 menjadi angin segar yang patut dinanti bersama penegakan hukum yang tentunya pula tidak tebang pilih. Hal ini, sedikit banyak tentunya bagi kelestarian habitat hidup rangkong berupa hutan dan keanekaragaman hayati yang ada dan yang tersisa. Dengan demikian perkembangbiakan dari populasi enggang atau rangkong, kangkareng, ruik, tingang, tajak, julang  bisa untuk terus berlanjut dan tidak tinggal cerita nantinya.

Adam Miller, Direktur Eksekutif dari Planet Indonesia International, mengatakan   Rangkong Gading merupakan simbol dari Kalimantan Barat, jika kita tidak mulai bekerja sama untuk melestarikan spesies ini, kita akan kehilangan ciri khas dari provinsi Kalimantan Barat. Dengan demikian, kita harus merasa bangga pada Rangkong Gading. Lebih lanjut, menurutnya, Kehilangan habitat dan perdagangan paruh enggang gading illegal menyebabkan spesies Rangkong Gading akan segera punah. Untuk itu, tindakan konservasi segera diperlukan untuk melindungi spesies ini terutama dalam hal penegakan hukum satwa liar dan menurunkan tingkat perdagangan ilegal, ungkapnya via komentar di email tentang keprihatinan terhadap nasib burung enggang yang dalam ancaman kepunahan.

Janji setia (kesetiaan)mu dengan pasanganmu hingga akhir menjadi sikap yang sejatinya tiada duanya patut untuk kami contoh, saat kalian bersama sehati dan memilihara rimba raya.

Kepak sayap nan megah dan riuh rendah kembali kami dinanti, banyak keindahan, keunikan, identitas dan maskot dan fungsi yang tidak terganti sebagai penyebar biji (biji-bijian) yang tidak lain juga sebagai tenaga penabur benih tumbuh dan berkembangnya rimbunnya hutan belantara di tempatmu berasal.  

By : Petrus Kanisius-Yayasan Palung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun