[caption id="attachment_371680" align="alignnone" width="750" caption="Orangutan berusia 3,5 tahun umurnya_saat sebelum rescue yg dipelihara warga di Kecamatan Air Upas, Ketapang, Kalbar. Foto dok. YP"][/caption]
Hari ini (6/3), di seluruh penjuru negeri diperingati sebagai hari konvensi CITES. Tentu saja, peringatan hari konvensi CITES erat kaitannya dengan nasib satwa yang masih ataupun selalu menjadi ancaman. Ancaman tersebut tidak lain adalah dengan semakin maraknya perdagangan satwa liar yang mana berdampak pada hak hidup para satwa.
Rentetan berbagai kasus yang terjadi menimpa nasib hidup sebagian besar satwa menjadi tanda dari ancaman serius saat ini. Nasib hidup orangutan yang ada di Kalimantan dan Sumatera, nasib harimau dan gajah di Sumatera, selanjutnya nasib hidup burung enggang, trenggiling, bekantan, rusa, tarsius dan makhluk hidup lainnya di Kalimantan kerap menjadi buruan para pemburu untuk di konsumsi dan diperjualbelikan.
Rentetan kasus tersebut kian menjadi-jadi dan semakin seringnya aparat dan beberapa temuan langsung, dari hasil monitoring dan investigasi lembaga-lembaga lingkungan sungguh menunjukkan sungguh satwa semakin terancam nasib hidupnya. Namun, yang pasti hal ini sulit dilacak dan dibongkar karena para pemain penjual dan pembeli semakin cerdik sulit untuk dilacak. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah yang harus dilaksanakan dan dituntaskan.
[caption id="attachment_371685" align="alignnone" width="966" caption="BKSDA Kalbar, membakar barang Bukti Paruh Enggang. Sumber data : Koran Pontianak Post, tahun 2014."]
Perdagangan terhadap satwa dilindungi ataupun endemik (satwa terancam punah dan dilindungi) seolah-olah semakin menjadi dan tentu saja bukan tidak mungkin satwa akan selalu menjadi barang dagangan yang semakin laris, menggila, marak, bahkan terbuka (secara kasat mata diperjualbelikan melalui jaringan dan terkadang terpapar di media sosial. Tidak heran, semakin maraknya perdagangan terhadap satwa dilindungi menjadi tantangan hingga kini oleh semua. Kekhawatiran akan keterancamanan satwa tentu saja erat kaitannya akan keberlanjutan hak dan nasib hidup mereka (makhluk hidup).
Kasus perdagangan, ancaman, perlakuan tidak adil terhadap hak hidup orangutan, kematian satwa dilindungi yang terjadi sepanjang tahun menjadi bukti nyata satwa-satwa dilindungi mengalami nasib miris hidupnya sekaligus mengkhawatirkan dalam keberlanjutannya di habitat hidupnya.
[caption id="attachment_371681" align="alignnone" width="640" caption="Hak hidup orangutan sering kali di rampas, sebagai contoh; orangutan ini merokok saat dipelihara. Foto dok. Budi/ K3, tahun 2014. "]
Dari data hasil monitoring yang dilakukan oleh Yayasan Palung sejak tahun 2004 -2014 teridentifikasi 135 kasus pemiliharaan orangutan, 89 kelempiau, 28 satwa lainnya (beruang madu, bekantan, trenggiling, burung enggang, dlsbnya). Satwa dilindungi yang dipelihara tersebut ada yang diselamatkan melalui penyitaan, penyerahan dari pemilik satwa kepada lembaga berwenang. Selain itu ada juga satwa yang mati ditangan pemiliknya. Adapun kasus pemiliharaan khusus orangutan terjadi baik di pemukiman masyarakat, areal perkebunan sawit dan areal pertambangan.
Data dari pengelola Pusat Karantina Orangutan Sumatera di Sibolangit Sumatra Utara menyebutkan; sejak tahun 2002 hingga April 2013, telah menerima sebanyak 261 orangutan (dari hasil penyitaan, penyerahan secara sukarela, dan kelahiran bayi orangutan di stasiun karantina) termasuk 143 berasal dari Provinsi Aceh dan 118 berasal dari lokasi lain di Indonesia, dari 143 orangutan yang disita oleh BKSDA Aceh, belum ada satu kasuspun yang masuk ke ranah hukum (sumber data dalam; Stop Animal Cruelty In Indonesia).
dari data monitoring Yayasan Palung, Januari-November 2012 terutama di wilayah pesisir, teridentifikasi 10 kasus pemeliharaan orangutan oleh masyarakat. Beberapa di antaranya, pemeliharaan orangutan oleh masyarakat yang berbatasan langsung dengan perkebunan sawit, bahkan ada beberapa dari perkebunan.
Hasil pemantauan Yayasan Palung dan YIAR pada 2012, di Kabupaten Ketapang, ada sekitar 17 orangutan diselamatkan baik dari masyarakat maupun dari kawasan perusahaan.
Kasus orangutan menjadi santapan manusia yang terjadi di jalan Pancabakti, Kawasan Batu Layang, Pontianak Utara, pada november 2013 menjadi bukti nyata ancaman nyata ketika nasib orangutan masih menjadi kian miris karena orangutan tersebut terdesak di tempat hidupnya dan menjadi makanan yang seharusnya dilarang atau tidak dibenarkan.
Sedangkan di tahun 2013, 22 individu orangutan di Kabupaten Ketapang, Kalbar berhasil di rescue (diselmatkan) oleh Yayasan IAR Indonesia (YIARI).
Sedangkan nasib hidup gajah, menurut data WWF-Indonesia, sejak tahun 2004 setidaknya 128 gajah mati di Riau. Mirisnya, baru satu kasus yang berhasil dibawa hingga meja hijau, yaitu kasus perburuan gading di Mahato- Kabupaten Rokan Hulu pada tahun 2005. Dalam tiga tahun terakhir, dari 38 gajah mati di Riau tidak satu pun yang dibawa ke meja hijau padahal sebagian bukti telah ditemukan di lapangan, misalnya adanya racun yang dibuktikan melalui tes laboratorium. Di Blok Hutan Tesso Nilo sendiri dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2012-2013) tercatat 26 individu gajah mati dan sebagian besar karena diracun.
Rentetan berbagai kasus yang terjadi dan mengancam satwa dilindungi yang selalu berulang. Tidak salah jika pilihan utama yang harus dilaksanakan adalah perlu penanganan khusus oleh siapa saja tampa terkecuali mengingat habitat hidup dari sebagian besar satwa seperti orangutan, gajah, harimau dan makhluk hidup lainnya sudah semakin memprihatinkan keberadaannya (diambang habis/terkikis habis/diambang kepunahan).
Menurut Cassie Freund, Direktur Program Yayasan Palung mengatakan; Hari Konvensi CITES adalah konvensi (pertemuan untuk kesepakatan) yang baik bagi semua kera besar, termasuk orangutan. Hari Konvensi CITES mengingatkan kita semua untuk melarang perdagangan dan perjualbelikan orangutan dan satwa lain secara internasional. Dengan manandatangani CITES, Indonesia berkomitmen untuk mengikuti aturan yang disebut dalam konvensi ini, maka CITES adalah hal yang baik untuk menyelamatkan orangutan dan satwa yang terancam lainnya di Indonesia, tegasnya lagi. Lebih lanjut, Cassie menegaskan, kita juga harus menjaga orangutan di Indonesia agar tidak lagi ada yang memperjualbelikan, memburu, membunuh atau mengambil orangutan dari habitatnya yaitu hutan tropis (hutan hujan), mengingat sekarang ini orangutan dan satwa-satwa lainnya mengalami ancaman yang serius. Dengan demikian perlu perhatian semua, siapa saja untuk ambil bagian menyelamatkan agar orangutan dan satwa lainnya bisa tetap hidup dan tetap terjaga.
Upaya-upaya konservasi lingkungan, penegakan hukum, tindakan nyata yang kiranya perlu kebersamaan dan kewajiban semua pihak pula untuk menjadi prioritas bila ingin hutan sebagai tempat hidup satwa-satwa dilindungi dapat bertahan serta dapat berlanjut dan lestari. Selamat hari konvensi CITES. (Petrus Kanisius- Yayasan Palung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H