[caption id="attachment_297714" align="aligncenter" width="525" caption="Hutan Semakin terhimpit. foto doc. Yayasan Palung"][/caption]
Sebuah pertanyaan tentunya menjadi susah-susah gampang untuk menjawabnya tentang pertanyaan keadaan lingkungan saat ini, masih merdeka kah lingkungan saat ini?.
Sebuah singkatan dari SAWIT yang memiliki singkatan dan arti kurang lebih; (Sebab Akibat Wilayah Indonesia Tenggelam). Memang, bisa dikata singkatan itu cukup cocok untuk menggambarkan keadaan saat ini. Sebenarnya, singkatan itu dipopulerkan oleh seorang tokoh masyarakat yang sangat penuh harap dan dengan segenap hati tanpa imbalan untuk terus mempertahankan wilayah hutan berpuluh-puluh hektar atau ratusanbahkan ribuanhektar hutan(persinya 1.070 hektar Hutan Desa) di daerahnya di Desa Manjau, KecamatanLaman Satong, Ketapang, Kalbar. Nama beliau, Yohanes Terang. Beliau mempopulerkan istilah ini sebagai upaya memerdekakakan lingkungan yang ada di wilayah dimana dia berada. Seperti di ketahui wilayah tersebut. Mungkin di beberapa wilayah lainnya ada yang berupaya untuk memerdekakan lingkungan di sekitar mereka. Tetapi seperti kita ketahui, ada banyak wilayah hutan dan lingkungan yang sulit merdeka karena beberapa sebab dan akibat.
Beberapa pertanyaan tentang masih merdeka kah lingkungan saat ini dibeberapatempat di negeri ini, diantaranya karena beberapa alasan :
Pertama, Kebakaran lahan ataupun pembakaran lahan di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Riau dan Kalimantan, sebagai tanda dan seolah menjadi agenda rutin terus terjadi. Kebakaran lahan tersebut menciptakan kabut asap yang mendera dan terus menyelimuti udara dan daratan. Aktivitas tidak terelakan oleh sebaran asap yang terus menyelimuti hingga mancanegara. Kebakaran lahan skala besar untuk pembukaan perkebunan SAWIT menjadi salah satu sebab akibat.
Kedua, Semakin menyempitnya luasan lahan berupa hutan tergambar dan terekam diberapa wilayah. Dengan demikian berimbas kepada rentannya nasib hidup makhluk hidup. Sudah pasti, semakin menyempitnya luasan hutan ini berdampak pada semakin sulitnya beberapa makhluk hidup untuk beradaptasi dan berkembangbiak atau dalam arti kata rentan dan terancam nasib hidupnya.
Ketiga, Banjir dan longsor. Banjir dan longsor sepertinya menjadi salah satu kendala utama masyarakat kita saat musim penghujan tiba. Daya tampung air atau sumber resapan air telah dikalahkan oleh pembangunan, tajuk-tajuk pepohonan dan tanah tidak lagi kuat menahan laju air yang terus menggenangi, sehingga tidak jarang pula banjir dan longsor membawa bencana berupa korban harta dan nyawa.
Keempat, Sampah. Sampah ada yang menyebutnya musibah dan adapula yang menyebutnya berkah. Namun, acap kali sampah menjadi sumber musibah. Musibah yang di maksud menjadi pemandangan tidak sedap dan sumber penyakit. Tidak sedit sampah menjadi masalah utama yang juga hingga kini sulit ditanggulangi.
Kelima, Semakin langkanya satwa dan keanekaragaman hayati. Sudah pasti, semakin langkanya atau bahkan terancam punah atau malah sudah punahnya satwa dan keanekaragaman hayati tidak terlepas dari semakin habisnya habitat dan sulitnya berkembang populasi. Tengok saja, hamparan hutan telah berganti menjadi padang gersang atau berganti tanaman lain.
Keenam, Keberlanjutan nasib hidup dan makhluk hidup yang mendiami bumi semakin terjajah sepertinya atau mungkin juga kita boleh bertanya, masih medekakah lingkungan kita saat ini?.
Sebuah harapan tentunya tentang lingkungan saat ini untuk bisa berlanjut. Bumi dan keberlanjutan bumi menjadi sebuah tanggungjawab bersama dan semua. Bukankah, hak dan tanggungjawab semua dan bersama untuk terus memerdekan lingkungan saat ini untuk terus berlanjut. (Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H