[caption id="attachment_324844" align="alignnone" width="610" caption="Hutan berganti padang berganti tanaman bersisir. Foto doc. Pit"][/caption]
Sebuah realita nyata berbicara dalam bahasanya masing-masing tentang keberadaan hutan, satwa dan manusia di/ter tergusur. Tentu ini bukan rahasia lagi bagaimana hal ini terus membukakan mata, telinga saat melihat, mendengar saat dihadapkan pada rentetan peristiwa.
Kisah dari mulut ke mulut, dari rekam peristiwa yang terjadi tentu menjadi ingatan nyata oleh banyak orang atau sebagian orang atau bahkan tidak banyak yang mengetahui. Katanya hutan, orangutan dan manusia sama-sama tergusur. Tentu ini sebuah dilema dan terus menjadi sebuah rekam jejak yang sejatinya menjadi cerita yang entah kapan akan berakhirnya. Kenapa saat ini hutan, orangutan dan manusia tergusur?.
Hutan yang katanya sebagai penyangga, sumber hidup makhluk hidup, kawasan yang tentunya juga tempat hidup bagi semua unsur mahluk hidup apapun itu jenisnya; pepohonan, satwa dan keaneragaman hayati, demikian banyak orang menyebutnya. Kawasan hutan sudah pasti begitu penting dalam setiap generasi di muka bumi ini. Saat ini, hutan tidak lagi seperti dahulu kala, semua orang juga tahu itu, tetapi dapat dikatakan semakin hari terus (di/ter)gusur/tergerus dan terancam. Hamparan pepohonan tidak lagi betah berdiri kokoh berganti padang gersang dan padang ilalang sehingga tidak jarang hawa sejuk/dingin berubah panas terik. Cuaca tidak menentu sudah terjadi. Banjir, tanah longsorkerap mendera manusia, demikian juga terjadi terhadap habitat hidup makhluk hidup/satwa dalam ancaman serius. Atau dengan kata lain, ancaman itu telah hadir dan telah dirasakan dampaknya beberapa waktu lalu dan sekarang tentang dasyatnya beragam bencana.
Satwa yang merupakan bagian makhluk hidup semakin sulit bertahan. Habitat hidup sudah semakin tidak mampu lagi untuk melanjutkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Pembukaan kawasan berupa hutan menjadi salah satu titik persoalan. Dalam arti kata, satwa sudah/telah/sedang/di-ter gusur saat ini. Rentetan kasus kematian satwa seperti orangutan, gajah dan harimau yang terus menjadi sorotan dan terus terulang terjadi. Tidak hanya itu, burung enggang, trenggiling, penyu dan satwa endemik lainnya juga terjadi. Keberadaan satwa semakin terhimpit dan sempit. Bukan tidak mungkin satwa dan tumbuh-tumbuhan/hutan tinggal menjadi sebuah cerita dan kenangan. Sebuah harapan dan pertanyaan, adakah yang benar-benar menegakkan hukum tentang keterancaman satwa dan tumbuh-tumbuhan saat ini?. Sesungguhnya ada, tetapi perdagangan satwa dan tumbuh-tumbuhan tetap saja ada dan belum/tidak tuntas. Adakah ada yang sampai ke meja hijau?. Jawabannya tentu ada dan ada tidak. Jika Ya, tetapi belum sebanding dengan kejadian-kejadian yang terus berlangsung dan tidak tersentuh sama sekali.
[caption id="attachment_324845" align="alignnone" width="530" caption="Orangutan mati di areal perkebunan lokasi di Ketapang Kalbar,tahun 2010. Foto doc. YP"]
Manusia, Makhluk yang paling paling cerdas dan sempurna dibandingkan makhluk hidup lainnya. Itu tidak terbantahkan. Namun tengok, sikap perilaku, polah, tingkah semakin menghiasi setiap sendi dan nafas hidup. Katanya manusia bisa saling memahami, bisa tidak egois terhadap sesamanya. Bukti bicara, masyarakat kecil selalu berhadapan dengan para penguasa dan pengusaha, tidak jarang dan terus menerus datang untuk membangun agar ini itu dan lain sebagainya dengan beribu janji. Apa yang terjadi, konflik kerap membahana sebagai perang saudara memberi arti tentang betapa sulitnya masyarakat kecil untuk bertahan. Lihat saja ada berapa banyak realita penggusuran dilakukan untuk peralihan lahan, berapa banyak konflik oleh pembangunan, ivestasi dan eksplorasi. Ada banyak masyarakat yang mempertahankan tanah adat, kampung halaman dan hutan mereka berhadapan dengan para pembesar dan pemodal. Tidak jarang, masyarakat kecil menjadi tumbal.
[caption id="attachment_324846" align="alignnone" width="587" caption="Potet pejuang masyarakat yang mempertahankan tanah, hak dan hidup mereka di Desa Batu Daya Kec. Simpang Dua, Ketapang, Kalbar. Foto, Demi Keadilan dan Kemanusiaan. doc. Hendrikus Adam/ Walhi"]
Deru, sumpah serapah, sahutan, jerit tangis berpadu dengan tawa dan celotehan kerap kali menghiasi dinamika peeristiwa saat ini di bumi ini. Banyak diantaranya, yang salah mencari pembenaran, demikian sebaliknya yang benar disalahkan atau bahkan dikondisikan. Entahlah, sampai kapan bisa berhenti?.
Bumi semakin panas, hutan semakin terkikis, tumbuhan dan satwa semakin terhimpit dan manusia semakin menjerit, semua saat ini sama-sama dalam bayangan tergusur. Banyak menyalahkan, banyak juga yang di salahkan. Realita tentang peristiwatentu menjadi sebuah kisah dan cerita dan menjadi catatan semua dan bersama tentang siapayang sesungguhnya bertanggungjawab. Mudah-mudahan saja masih ada rasa untuk saling menghargai satu sama lainnya. Semoga........
By : Petrus Kanisius Pit- Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H