World Conference on Human Right 1993 dan World Food Summit 1996, Konsep ketahanan pangan disepakati secara internasional seperti dilaporkan oleh Saliem et al. (2005); adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu baik dalam jumlah maupun mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai dengan budaya setempat. Sehingga Persoalan  ketahanan  pangan  selalu  diidentikkan  dengan  munculnya kasus  gizi  buruk.  Apabila  banyak  masyarakat  yang  tidak  bisa memenuhi  ketahanan  pangannya,  maka  mereka  akan  menderita  gizi buruk.
Ironisnya, dizaman yang dikatakan telah maju ini Indonesia malah melupakan hal mendasar seperti tercantum diparagraf sebelumnya. Pada tahun 2012, balita yang mengalami kekurangan gizi ada sekitar 900 ribu jiwa (4,5% dari jumlah balita Indonesia). Dengan jumlah sebanyak itu dan ditambah lagi dengan penduduk Indonesia yang banyak (menduduki peringkat 4 dunia) Indonesia menjadi negara kekurangan gizi nomor 5 di dunia. Gizi buruk pun tidak hanya terjadi di daerah Timur Indonesia saja seperti yang disorot media selama ini. Gizi buruk yang merupakan impact dari ketidakmampuan memenuhi ketahanan pangan ini dialami di berbagai daerah pelosok Indonesia.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 secara Nasional diperkirakan Prevalensi Balita Gizi Buruk dan Kurang sebesar 19,6 %. Jumlah ini jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007, terjadi peningkatan yaitu dari 18,4 %. Bila dilakukan konversi ke dalam jumlah absolutnya, maka ketika jumlah Balita tahun 2013 adalah 23.708.844, sehingga jumlah Balita Giburkur sebesar 4.646.933 Balita.
Di Aceh 2013, sebanyak 1.034 bayi meninggal (meningkat 5 persen dari 2012) dikarenakan kekurangan gizi saat masih dalam janin atau bayi dibawah satu tahun. Provinsi Banten mengalami peningkatan jumlah balita kurang gizi. Dari yang sebelumnya 5.043 balita menjadi 7.213 balita. Sementara itu di Kalimantan Barat tahun 2013 tercatat 212 kasus gizi buruk dan 7 diantaranya meninggal dunia. Menteri kesehatan pada waktu itu, Nafsiah Mboi pesimis jumlah balita penderita gizi buruk menurun mencapai target yang ditentukan dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Menurut Nafsiah, prevalensi gizi kurang pada balita masih 17,9 persen dan dikhawatirkan target MDGs tidak tercapai.
Balita, calon penerus kita dimasa depan menjadi tanggung jawab bersama. Bukan hanya yang tersorot media saja namun setiap balita di Indonesia memiliki hak yang sama untuk mengecap masa depan yang cerah kelak. Hak untuk hidup sehat, terhindar dari penyakit yang mengganggu seperti malnutrisi. Malnutrisi sendiri merupakan masalah yang disebabkan karena ketahanan pangan yang kurang atau tidak baik.
Selama ini yang terlihat aktif dalam menanggulangi gizi buruk adalah pemerintah atau lembaga sosial masyarakat. Seharusnya yang terjadi adalah ketahanan pangan menjadi tanggung jawab bersama. Padahal tiap warga yang tinggal di Indonesia diharapkan memiliki rasa saling memiliki yang kuat seperti yang dikatakan para cendekia dalam negeri bahkan asing. Jika kita tidak concern dalam ketahanan pangan maka malnutrisi semakin meningkat. Malnutrisi dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Sekarang saja efeknya belum terasa karena kita kurang peka namun jika balita yang mengalami malnutrisi semaking banyak, kita harus bersiap kehilangan banyak pula calon kader bangsa di masa berikutnya.
Mari kita tingkatkan rasa peka dan peduli terhadap isu dinegara sendiri. Mulai dari diri sendiri, mulai mencari tahu lalu aksi.
Referensi:
http://www.indonesiafightpoverty.com/2014/04/01/indonesia-masih-dihantui-kasus-gizi-buruk/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H