Mohon tunggu...
Fitri Ramadhani Syam
Fitri Ramadhani Syam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menggambar, memasak, menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pembangunan Rumah Ibadah di Tengah Masyarakat Muslim

7 Januari 2025   13:36 Diperbarui: 7 Januari 2025   13:36 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langit jinga (Wiwita Nopriana JurnalPost.com)

Fitri Rmadhani Syam/2420203888204019

Indonesia adalah negara dengan keberagaman agama yang menjadi kekayaan sekaligus tantangan dalam kehidupan berbangsa. Sebagai warga negara Indonesia kita memiliki hak masing-masing dalam beragama, namun pembangunan rumah ibadah sering kali menjadi isu yang memicu polemik. Tantangan ini harusnya menjadi sebuah momentum untuk memperkuat toleransi dan penghormatan terhadap hak beragama bukan malah memunculkan gesekan antar agama. Dalam konteks pluralisme Inonesia penyelesaian konflik terkait pembanguna rumah ibadah perlu mengedepankan prinsip keadilan dan pendekatan harmoni antar umat beragama.
Penolakan terhadap pendirian rumah ibadah di suatu wilayah dapat disebabkan oleh berbagai faktor sosiologis dan psikologis. Faktor ini sering kali saling terkait dan dipengaruhi oleh dinamika masyarakat setempat, nilai-nilai sosial, serta pengalaman individu atau kelompok. Faktor sosial yang dapat memicu terjadinya penolakan tersebut ketika adanya konflik masyarakat yang merasa kelompoknya pernah dirugikan oleh kelompok agama tertentu cenderung menolak pendirian rumah ibadah untuk mencegah potensi ketegangan di masa depan. Penolakan juga dapat dipengaruhi oleh tokoh masyarakat atau elite politik yang memanfaatkan isu agama untuk mendapatkan dukungan atau mempertahankan kekuasaan. Propaganda yang menyudutkan kelompok agama tertentu dapat memengaruhi opini masyarakat secara luas.
Terkandung pada sila pertama, bahwa Negara Indonesia, mengakui pluralisme agama di Indonesia, artinya tidak hanya satu agama saja yang diakui, sehingga antarumat beragama harus saling menghormati dan menghargai hubungan sosial lintas agama. Setiap orang memiliki hak dan kebebasan dalam memilih, memeluk, dan mengajarkan agama tanpa gangguan. Namun, hal itu tentu tidak tercermin pada salah satu kasus yang terjadi yaitu adanya polemik pembangunan Gereja di Kelurahan Katimbang, Kecematan Biringkanaya, Kota Makassar. Polemik ini terjadi pada tahun 2022 lalu, mayoritas masyarakat kota Makassar khususnya umat muslim yang menolak pembangunan Gereja. Dalam konteks masyarakat yang majemuk penolakan terhadap pembangunan Gereja mencerminkan pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap hak beragama.
Rencana pembangunan Gereja di Kelurahan Katimbang, Kecematan Biringkanaya, Kota Makassar yang menghadapi penolakan  dengan alasan minimnya dukungan dari warga sekitar terhadap pembangunan tersebut, dari daftar dukungan yang ada hanya delapan orang yang memberikan persetujuan. Penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah ini bertentangan denagn kandungan sila pertama, juga mengancam toleransi yang menjadi landasan kehidupan bermasyarakat.
Dari perspektif pemerintah, kasus ini menjadi ujian bagi komitmen negara dalam menjamin kebebasan beragama. Pemerintah memandang bahwa pendirian gereja adalah bagian dari hak dasar yang harus dilindungi, asalkan semua prosedur hukum, termasuk perizinan, telah terpenuhi. Tokoh agama Kristen, memandang bahwa pendirian gereja adalah kebutuhan spiritual bagi umat Kristen di wilayah tersebut. Mereka menekankan bahwa keberadaan gereja tidak dimaksudkan untuk mengganggu keharmonisan sosial, tetapi semata-mata untuk memenuhi hak dasar umat Kristen dalam menjalankan ibadah. masyarakat, yang menolak pembangunan gereja beralasan bahwa keberadaannya dapat mengganggu harmoni sosial di lingkungan mayoritas Muslim. Mereka khawatir akan munculnya ketegangan atau perubahan sosial yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya setempat.
Konflik ini menyoroti pentingnya toleransi, dialog, dan penghormatan terhadap hak-hak dasar setiap individu sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang plural. Pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan solusi yang tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga memperkuat fondasi keberagaman dan persatuan.
Dengan memfasilitasi ruang diskusi yang terbuka antara umat Kristen, umat Muslim, tokoh masyarakat, dan pemerintahDialog ini juga dapat menjadi media untuk memperkuat rasa saling pengertian dan mempromosikan toleransi. Pemerintah dan tokoh agama perlu memperkuat pendidikan tentang toleransi dan keberagaman melalui program-program yang menanamkan nilai penghormatan terhadap hak beragama sejak dini.
Dengan langkah ini kita dapat menujukkan bahwa Indonesia, sebagai negara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, mampu menjadi contoh nyata toleransi dan persatuan di tengah perbedaan dan polemik seperti pada contoh kasus dapat diselesaiakan secara damai, adil dan dapat memperkuat persatuan dan bangsa dalam keberagaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun