Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah masih keukeuh mempertahankan jabatannya, meski tengah tersangkut kasus korupsi dan mendekam di Rumah Tahanan Pondok Bambu. Atut enggan melimpahkan kewenangannya kepada Wakil Gubernur Banten, Rano Karno.
Menurut kuasa hukum Atut, Firman Wijaya, Atut akan mengikuti aturan perundangan yang berlaku, dimana seorang kepala daerah harus mundur dari jabatannya ketika telah ditetapkan sebagai terdakwa. Saat ini, status Atut sendiri masih tersangka. (Okezone.com, 16/1/2014).
Banyak kalangan kemudian menyoal fenomena ini. Sebagian mengamini pandangan kuasa hukum Atut, sementara kalangan lain justru mendorong agar pejabat publik yang tersandung kasus korupsi sudah selayaknya meletakkan jabatannya. Bak pepatah lama: anjing menggonggong, kafilah berlalu; Tahun boleh berganti menjadi 2014, namun Ratu Atut masih tetap memegang tampuk kekuasaan tertinggi provinsi Banten.
Yang menarik, hampir semua petinggi negara ini bersikap serupa: seolah acuh, kalau tidak mau dikatakan secara diam-diam berjuang mati-matian demi jabatannya ketika ketahuan menggunakan atau menyalahgunakan uang rakyat.
Gubernur Ratu Atut, misalnya. Meski sudah dinyatakan tersangka-tentu dengan didukung adanya dua alat bukti yang kuat-bahkan dimasukkan ke dalam sel, tetap tidak mampu menggugah hatinya untuk secara sukarela meletakkan jabatan.
Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah mengapa hal ini acap terjadi? Mengapa petinggi negeri ini sulit sekali mengundurkan diri walau mereka telibat kasus korupsi?
Syahwat kekuasaan
Coba simak data yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 2014. Tercatat, ada 6.576 orang caleg yang didaftarkan oleh 12 partai peserta pemilu. Bandingkan dengan pemilu 2009. Jumlah daftar caleg sementara (DCS) yang diterima KPU berjumlah (hanya) 11.868 orang dari 38 partai politik. Rentetan angka ini paling tidak bisa jadi gambaran bagaimana syahwat kekuasaan masyarakat Indonesia untuk menduduki jabatan publik masih cukup tinggi.
Menjadi seorang pejabat publik di bumi pertiwi ini masih menjadi tren yang tak lekang dimakan zaman. Masyarakat Indonesia pun terus berupaya menyandang status sebagai petinggi negara meski kasus korupsi yang melibatkan pemegang kekuasaan pemerintahan itu saban hari semakin banyak yang terungkap. Menurut data kemendagri, sejak 2005 hingga akhir Mei 2013 sebanyak 294 kepala daerah tersandung tindak pidana korupsi.
Angan-angan mendapatkan harta, tahta, dan berbagai kemudahan dalam hidup pun menjadi stimulus terbesar dalam meraih kekuasaan. Menurut Guru Besar Universitas Padjajaran Prof. Dr. Tb. Zulrizka Iskandar dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Peningkatan Kualitas Manusia dan Masyarakat Indonesia dalam Perspektif Psikologi Sosial”, banyak masyarakat yang akan mengejar jabatan dan kekayaan dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak heran kemudian muncul perilaku tidak terpuji seperti konflik antar-kelompok, korupsi, ingin menang sendiri, dan melakukan tindakan kekerasan.
Jarak kekuasaan
Demikian juga dengan kasus korupsi yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi-lah yang kemudian memberhentikan Akil Mochtar dengan tidak hormat, alih-alih Akil sendiri yang berinisiatif mengundurkan diri.
Dalam salah satu bagian di bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya, Deddy Mulyana mengutip model budaya Geert Hofstede (1997) yang menjelaskan bahwa Indonesia termasuk ke dalam budaya dengan jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi. Budaya ini ditandai dengan pandangan bahwa kekuasaan itu nyata; terdapat jarak antara atasan dan bawahan; atasan senang menjaga jarak dengan bawahan, begitu pula sebaliknya; bawahan harus patuh kepada atasan dan takut berbeda pendapat dengan atasan.
Oleh karena kekuasaan yang dianggap nyata, petinggi negara enggan mengundurkan diri meskipun ia terbukti menyalahgunakan kekuasaannya. Karena bawahan harus patuh kepada atasan, maka bawahan yang juga pejabat lazimnya tidak akan mengundurkan diri jika mereka ketahuan bersalah, kecuali jika atasan melengserkannya.
Dari perspektif ini, kita lantas dapat menakar mengapa pejabat publik di Indonesia berbeda dengan pejabat publik di negara lain, yang manakala mereka kepergok menyelewengkan kekuasaannya maka mundur dari jabatan menjadi pilihan pertama. Musababnya, petinggi di negara lain tersebut, seperti yang dikatakan oleh Hofstede (2005) menerapkan budaya dengan jarak kekuasaan yang rendah. Semangat kesederajatan (egalitarianisme) tumbuh dalam komunikasi antara atasan dan bawahan.
Namun, kita juga dapat dan wajib mempertanyakan jika kelak muncul kembali pejabat publik yang dengan legowonya meletakkan jabatan karena tersandung kasus korupsi; seperti mantan Menpora Andi Alfian Mallarangeng yang mundur dari jabatannya pada Jumat (7/12/2012) setelah ditetapkan tersangka oleh KPK. Sangat patut diduga, atasan memberikan pengaruh signifikan dalam menginisiasi keputusan mundur tersebut.
-PO-
240114
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H