Konflik internal penambangan pasir ilegal yang dibekingi Haryono (43) Kepala Desa Selok awar-awar Kecamatan Pasiran, Lumajang, Jawa Timur. Atas insiden “pembantaian” terhadap aktivis lingkungan Salim Kancil menuai sesal.
Sebuah kata “sesal” dari pembunuh seorang Salim Kancil Aktivis Lingkungan Penolak Tambang pasir liar saat sidang di Pengadilan Negeri Surabaya (Halaman 2 koran Tempo Makassar, 15/4).
Saat dimintai keterangan Haryono (aktor intelektual) pembunuhan Salim Kancil. Menurutnya (Haryono) menyatakan “kecewa dan menyesal, pasalnya tidak pernah menyarankan perbuatan tersebut” lantas siapa dong pembunuh sesungguhnya? Masih misteri biarlah Tuhan dan pelaku sebenarnya yang menjawabnya.
Pada saat pembantaian Si KADES kemana? Mustahil tidak mengetahui perbuatan sadis warganya terhadap aktivis lingkungan, tentu mendapat laporan dari warga agar pembantaian Salim Kancil segera dilerai, sepertinya peristiwa “65” ini terstruktur, masif dan sistematis menghabisi nyawa Salim, khawatir aktivitas penambangan gagal gara-gara Si Kancil.
Setidaknya dengan ditetapkannya Kepala Desa Selok Awar-Awar sebagai aktor “intelektual” akan tragedi kelam hingga merenggut korban jiwa, tak pelak sedikit banyak telah merusak “kapabilitas” institusi pemerintahan desa setempat. Mengapa demikian? Tentu saja, sebab amanah jabatan KADES (Kepala Desa) di pedesaan merupakan jabatan elite setelah jabatan Bupati.
Hal serupa terlontar dari mulut Madasir (Ketua Koordinator Lembaga Masyarakat Desa Hutan) menyatakan statement “saya hanya memukul pakai sendal ketika di Balai Desa” Bodoh!!!, kenapa anda tidak melerai pak Madasir kok malah ikutan mukul, otakmu mana, ditaruh didengkul kah!!! meskipun itu hanya sendal, Perilaku memukul menggunakan sebuah sandal adalah provokatif anda KURANG AJAR terhadap orang tua, sepatutnya jabatan sebagai Ketua Koordinator Lembaga Masyarakat Desa Hutan dicopot dan serahkan kepada Tosan.
Saya menyadari betapa rapuhnya rakyat, ketika berhadapan dengan pemerintah baik itu pusat maupun desa. Karena pemerintahan kita ini adalah pemerintahan yang “korporatis”. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang perorang. Sindiran pada pemerintah kita, bahwa di indonesia ini pemerintahnya lebih dominan mengurusi dasi dan sepatu orang kaya, dari pada mengurusi “periuk nasi” orang miskin.
Tidak ada sejarahnya maling mengaku, yang ada “maling teriak maling, sembunyi balik dinding pengecut lari terkencing-kencing” menikam dari belakang lawan lengah dibantai ramai-ramai lalu jasadnya dibiarkan menggelepar seperti anjing dipinggir jalan, biadab!!!.
****
Kini, bisa kita saksikan sendiri mereka (Haryono dan Madasir) betapa rendah moralitasnya dengan mempersulit dirinya sendiri memberi keterangan berbelit-belit. Drama seeprti ini sudah sepantasnya segera diakhiri dengan dijatuhi “hukuman mati”, meski aktor pembantai sesungguhnya masih bebas berkeliaran mencari mangsa.
Aksi brutal ini telah mengganjari mereka dengan dakwaan alternatif serta pasal berlapis tentang pembunuhan dan penganiayaan. Sidang dilanjutkan pada 28 April dengan agenda pembacaan tuntutan.
Berbelit-belitnya mereka memang tidak membangkitkan arwah Salim Kancil. Setidaknya para pelaku mendapat ganjaran setimpal. Dengan kata lain pertanyaan ini bahwa jabatan sekecil apapun tidak bisa dimain-mainkan, hanya “gila jabatan” serta “menjual diri” dengan murah sekali untuk sebuah elektibilitas dan faktanya dalam kehidupan sehari-hari mudah menyalahgunakan jabatan. Dan jika itu yang terjadi maka jelaslah bahwa kita membela kepentingan “korporasi” betapa rendahnya harga diri pemimpin seperti ini, masih doyan di suap “taipan” berkantong tebal. Dengan begitu, kita mengubah rendahnya moralitas “pejabat” kita yang memalukan ini. Tak ada orang lain, atau bangsa lain yang bakal sudi melakukannya, kecuali kita. Dan hanya kita...hadeh!!!