Ied Mubarak 1 Syawal 1437 H
Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal ‘Aidin Wal Faizin” Mohon Ma’af Lahir dan Bathin
Sama seperti tahun sebelumnya, sebulan penuh kita ditempa dari nafsu, birahi syahwat kebinatangan sebagai manusia. Tepat 1 Syawal 1437 Hijriyah, takbir, tahlil dan tahmid berkumandang seantero jagad raya, seakan getarannya hingga menggetarkan arsh-NYA, sebagai pertanda bahwa Bulan Suci Ramadan pergi meninggalkan kita semua. Pertanyaannya apakah kita nanti akan dipertemukan dengan Bulan Ramadan tahun depan? Seiring berlalunya bulan penuh berkah tersebut, diharapkan calon-calon penghuni syurga hasil “karantina qolbu” mampu meminimalisasi perilaku tercela, sekaligus sebagai kontrol diri dari teori konspirasi negatif sebelas bulan yang akan datang. Setidaknya kita tebar pahala dengan senyum dan kasih sayang terhadap saudara sesama muslim maupun non muslim jauh dari sikap “pencitraan”.
Tidak cukup sampai di situ saja. Tradisi takbir keliling masih mewarnai kemenangan, meski saat ini sifatnya lebih kepada ceremony melalui pengeras suara. Setidaknya secara turun temurun tradisi takbir keliling tersebut sulit dihindari. Letupan gegap gempita petasan pun samar-samar terdengar di pelosok kampung tidak terhindarkan. Menandakan rasa syukur kita kepada Alloh SWT atas kemenangan menjalankan ibadah puasa sebulan penuh lamanya, rutin digelar ritual sholat Iedul Fitri di lapangan terbuka sampai membeludak ke jalan raya, hingga suasananya ibarat panggilan ibadah ke Tanah Suci Mekkah, khotbah Ied merupakan fardhu khifayah bagi jama’ah sebagai kuliah qolbu agar hidup lebih terarah.
Iedul fitri menjadi afdol dengan silaturohim ke sesama saudara muslim baik dari kalangan masyarakat strata bawah hingga tingkat pemerintahan/birokrat. Open house andil meramaikan suasana lebaran sebagai ritual khusus kalangan public figure baik legislatif, eksekutif, yudikatif.
Hal ini tentu sangat bertentangan dengan kalimat “kebersihan sebagian dari iman” di mana rasa keimanan kita sebagai umat Islam, jika setelah sholat Idul Fitri maupun Idul Adha koran bekas kita biarkan menghiasi tanah lapang maupun jalan raya, perilaku ini tentu kontras dengan tagline kebersihan sebagian dari iman. Apakah ini namanya bersih suci seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya, guna mengarungi duri kehidupan sebelas bulan ke depan? Coba kita tanyakan saja pada rumput yang bergoyang (Ebiet G. Ade).
Sangat disayangkan. Usai sholat Ied sampah-sampah berupa koran-koran bekas baik terbitan lokal maupun nasional mengotori padang ilalang dan jalanan. Beberapa pihak tentu menyesali budaya tersebut. Usai ritual sholat Iedul Fitri, koran bekas mengundang sampah. Pasalnya kita sulit mengubah kebiasaan. Sikap mengotori sudah mendarah daging, dan membersihkan tidak menjadi bagian dari sikap kita. Meski secara otomatis panitia pelaksanaan hari raya turun tangan membersihkan memungut sampah-sampah koran tersebut, setidaknya para jama’ah harus tau diri untuk membawa kembali koran bekasnya atau buanglah pada tempat sampah yang telah disediakan. Jangan berlalu begitu saja dong! Berhamburnya sampah hanya akan menodai kesucian Idul Fitri.
Pemulung memang memungut sampah bernilai ekonomis demi mempertahankan asap dapurnya tetap mengebul. Tapi di tengah defisit perekonomian bangsa ini, profesi tersebut jauh lebih mulia. Karena, di lain sisi, keterdesakan ekonomi juga dapat menggelapkan mata manusia yang lain, yang baik-baik untuk berbuat jahat, hingga bertindak di luar akal sehat, seperti menjadi maling, mencopet, membunuh, merampok, dan menipu, untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Lingkup kasta elit boleh dikatakan lebih sadis dari kaum akar rumput.