Sumber: Gambar
Negara selalu kalah dalam sengketa Lingkungan Hidup dari tahun ke tahun. Masih ingat peristiwa kasus Newmont Minasa Selatan (NMS) pada 2005-2006 dimana KLH kalah dalam tuntutan sidang dugaan pencemaran air laut. Kemudian pada kasus yang lain KLH kembali kandas dari PT. Barawaja Makassar, yang juga terindikasi mencemari air sumur penduduk, sehingga tidak dapat menggunakan lagi sumur mereka sebagai sumber air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari warga sekitar pabrik. Selain sumur warga yang tercemar, polusi udara yang diakibatkan asap pabrik saat beroperasi mencemari udara disekitar pemukiman warga. Tuntutan ganti rugi dari Kementerian Lingkungan Hidup sebesar Rp. 14 miliar terhadap perusahaan pun, keok di meja persidangan.
Kekalahan tersebut berlanjut pada gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) bernilai Rp, 7,5 triliun “kandas” di Pengadilan Negeri ogan Komering Ilir (OKI) Palembang, secara langsung maupun tidak langsung terindikasi struktur pelaku koruptor sangat besar dan beranak pinak seperti sarang laba-laba saling mengikat, lumrah terjadi pelaku koruptor punya kroni di kepolisian, kejaksaan, hakim, pengacara, pejabat pemerintahan, pengusaha, hingga anggota Dewan yang terhormat.
Hakim berkilah tuduhan yang dituduhkan kepada perusahaan tidak bisa dibuktikan. Bahkan Hakim Parlas Nababan mengatakan bahwa “Membakar hutan itu tidak merusak lingkungan hidup, karena hutan masih bisa ditanami lagi”. Apakah selalu menimbulkan tanya kenapa orang yang awalnya baik-baik tau-tau bisa jadi mata rantai koruptor, jawaban sudah bisa dipastikan karena mereka khilaf, bisa juga karena mereka dijebak atau terlilit hutang, segala kemungkinan bisa saja terjadi?
Dari berbagai portal online nasional yang saya baca bahwa gugatan pihak KLHK yang dibacakan ketua majelis hakim Parlas Nababan dalam sidang terbuka di Palembang (30/12/2015) menolak gugatan, tidak tahu permainan apakah ini? Kok aneh, ya...aneh bagi saya sebagai orang awam “permainan” dunia hukum, justru mewajibkan pihak penggugat yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kudu membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.521.000,- (sepuluh juta lima ratus dua puluh satu ribu rupiah), alasan lain yang menjadi “pertimbangan” hakim karena PT. BMH menyediakan peralatan pengendalian kebakaran. Lahan yang terbakar masih dapat ditanami. Penegakan hukum yang gagah berani seperti ini tentu mulai “ciut nyalinya” jika ternyata atasannya main mata dengan cukong, untuk memuluskan langkah persidangan. Gila e!!!!
Masak sih tidak ada laporan kerusakan lahan di Dinas kehutanan Ogan Komering Ilir (OKI), bagi saya sungguh diluar akal sehat saya, jelas-jelas pemberitaan menyatakan “telah terjadi kerusakan ekologi, serta memenuhi unsur ancaman serius terhadap kerusakan lingkungan” sebagaimana juga kita saksikan bersama, bahwa kabut asap dari “pembakaran” hutan, meneror masyarakat sekitar hutan penyebab utama penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Parahnya asap-asap tersebut juga mencekik sumatera, Kalimantan, Singapura, Malaysia menuai sorotan tajam berbagai pihak (KTT Iklim di Paris).
Apabila pengambilan kebijakan sekelas Menteri di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa tak berkutik jika ia dijebak dengan “permainan” pihak BMH, maka kehadiran saksi ahli sampai kapan pun tidak akan membuktikan apapun. Jika pejabatnya kebal terhadap sogokan uang walau itu menimbulkan kerugian dan kerusakan ekologi hutan, hingga kerusakan unsur hara dan kehilangan keanekaragaman hayati dinegeri ini. Atau dia tidak gentar terhadap ancaman apapun, saya yakin Tim pengacara KLHK mampu mengandaskan perlawanan PT. BMH......ahai...ini lebih langka lagi.
Penyebab kebakaran hutan yang saat ini terjadi, tersirat dilakukan dengan sengaja sengaja oleh “oknum” perusahan perkebunan minyak kelapa sawit, gambut dan hutan tanaman industri lainnya untuk melakukan pembukaan lahan perkebunan dengan cepat. Tingkat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ini menempatkan hutan Indonesia sebagai hutan dengan tingkat kehancuran paling cepat di dunia!.
Peristiwanya selalu saja bertepatan dengan musim kemarau panjang “aneh kan?”, selalu terjadi seperti itu (kebakaran hutan), siapa ceroboh? Siapa bodoh? Siapa pula yang dibodoh-bodohin? “kok gini terus”.
Jelas-jelas secara kasat mata, kalau habis dibakar tentu menyisakan bekas terbakar, meskipun telah disediakan alat, dalih lahan masih dapat ditanami pohon, itu pasca dapat terjadi pasca kebakaran hutan dan lahan, kali ini tentu menyisakan sederet dampak. Mulai dari rusaknya hutan sebagai habitat satwa dan flora, menyebarkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer, hingga masalah asap yang menyebabkan gangguan di berbagai segi kehidupan masyarakat antara lain kesehatan, transportasi, ekonomi dan hubungan tata negara.
Mengutip kalimat Direktur Penyelesaian Sengketa dan Perdata KLHK Jasmin Ragil Utomo “Jika ditemukan dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan hakim saat memutuskan perkara ini, maka KLHK tidak segan melaporkan hal itu ke Komisi Yudisial. ”Kami akan berkaca dari hasil putusan kali ini,” ungkapnya.