Kubangun lumpur tak selamanya terlihat kotor, busuk dan menjijikan. Justru dibalik aroma busuk tersebut ditemukan sebutir emas pada kubangan yang selama ini kita anggap hina dina.
Coba kita lihat para penambang-penambang itu, baik secara konvensional maupun modern, sibuk berkecimpung dalam lumpur demi sebutir biji emas. Betapa kayanya Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Dari lumpur menjadi rebutan pihak asing.
Bisa di bayangkan andai lumpur-lumpur tersebut tidak kita eksploitasi ke negara asing, saya yakin Indonesia tidak akan pernah berhutang ke luar negeri, justru mereka yang menyadap alam ini.
Lumpur juga bisa merugikan akibat ulah kita sendiri, mengeksplor secara membabibuta tanpa memikirkan keberlanjutan hidup habitat lumpur dan butiran emas dimanfaatkan demi kemakmuran rakyatnya sendiri, jangan sampai “anak ayam mati dalam lumbung padi” menjadi nyata.
Benar sekali bahwa UUD 45 pasal 33 ayat 3 mengamanahkan. “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Buktinya siapa untung siapa buntung.
Pasal ini sudah demikian jelas, terang benderang, tidak berkhianat, artinya interpretasi bahwa seluruh kekayaan alam yang ada dalam perut bumi, dibukit-bukit, gunung-gunung, di atas tanah berupa hutan dan di dalam air termasuk lumpur harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pertanyaannya negara mana? Rakyat yang mana?
Faktanya lumpur tersebut justru dinikmati oleh investor kakap mengeruk dan mengelupasi dalam-dalam kekayaan alam kita. Bukankah sikap yang aneh itu bertantangan dengan konstitusi kita?
Kita ambil contoh negara Singapura, mereka bisa membangun kotanya begitu prestise, dikarenakan pandai memanfaatkan situasi sulit negeri ini. Mereka membakar kertas, plastik, limbah medis dengan suhu sangat panas hingga menghasilkan serbuk debu, sedangkan energi panasnya dimanfaatkan sebagai energi listrik. Debu sisa pembakaran yang jumlahnya berton-ton itu ditimbun di teritorial terluar pulaunya, bahkan mereka (Singapura) juga membeli pasir dan lumpurnya di teritorial Indonesia dengan segala cara merayu masyarakat sekitar sudi menjual pasir lumpur tersebut mereka timbun beserta serbuk debu sisa pembakaran tingkat tinggi, perlahan tapi pasti perluasan pulau negeri Singa kian bertambah.
Walhasil, luas pulau mereka bertambah, luas pulau Indonesia berkurang, dengan demikian zona ekonomi ekslusif (ZEE) Singapura dalam rentang waktu sekian tahun mampu menelikung indonesia.
Saya bermimpi pemerintah kita melalui Kabinet Kerja berani meninjau kembali seluruh IJIN yang sudah setengah abad kita sedekahkan kepada pihak asing menyedot keluar lumpur-lumpur yang kita anggap menjijikan justru bagi mereka menguntungkan. Bangsa sendiri kekurangan, pihak asing kenyang mengeksplorasi kekayaan alam indonesia. Ternyata tanpa disadari dinikmati oleh bangsa asing secara semena-mena?
Lumpur di Indonesia tampaknya masih menjadi daya pikat tersendiri banyak pihak unjuk suara (dan kuasa). Maklum, banyak pemangku kepentingan bergentayangan disekitar lumpur menyilaukan mata “pencaharian” kita.